A. PENGERTIAN
Secara etimologis
Mawaris adalah bentuk jamak dari kata mirats (مراث), yang merupakan mashdar (infinitif) dari
kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah ;
berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum
kepada kaum lain.
Sedangkan maknanya
menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya hak kepemilikan
dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak
milik yang legal secara syar’i.
B. HUKUM KEWARISAN
Dalam hukum kewarisan
terdapat dua hal, yaitu hukum membagi harta warisan menurut ketentuan syari’at
Islam dan hukum mempelajari dan mengajarkannya.
1. Hukum membagi harta
warisan menurut ketentuan syari’at Islam
Bagi umat Islam
melaksanakan peraturan-peraturan syari’at yang telah ditentukan nash yang
sharih adalah suatu keharusan, selama peraturan tersebut tidak ditunjuk oleh
dalil nash yang lain yang menunjukkan ketidak-wajibannya.
Dalam hal ini kita
dapat merujuk nash al-Quran maupun al-Hadis yang berkaitan dengan hal tersebut,
yaitu :
a. Surat an-Nisa’ ayat
13 dan 14 :
تِلْكَ
حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن
يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ
الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١٣﴾
(Hukum-hukum tersebut)
itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa ta’at kepada Allah dan
Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang
besar. (QS. An-Nisa’: 13).
وَمَن
يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا
فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ ﴿١٤﴾
Dan barang siapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, Allah
bakal memasukkannya ke dalam neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya
siksa yang menghinakan. (Q.S. An-Nisa’: 14).
b. Hadis Rasulullah
SAW.
Bagilah harta (warisan)
antara ahli-ahli waris menurut kitabullah (al-Quran). (H.R. Muslim dan Abu
Dawud).
Berdasarkan nash
al-Quran dan al-Hadis tersebut, maka diisyaratkan keharusan (kewajiban) membagi
harta warisan menurut ketentuan al-Quran dan al-Hadis. Tetapi selain pemindahan
hak kepemilikan melalui kewarisan, adanya ketentuan wasiat dan hibah. Sehingga
terhadap orang lain yang tidak mendapatkan harta melalui kewarisan dapat
diberikan melalui wasiat atau hibah. Demikian pula bagi ahli waris yang merasa
tidak membutuhkan dan tidak mau menerima pembagian harta warisan, dapat
memberikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan melalui hibah.
2. Hukum mempelajari
dan mengajarkannya.
Islam mengatur
ketentuan pembagian harta waris secara rinci agar tidak terjadinya perselisihan
dan pertikaian antara ahli waris. Hal tersebut seringkali terjadi jika
seseorang meninggal dunia, menimbulkan perselisihan bagi ahli warisnya dalam
pembagian harta, bahkan tidak jarang terjadi pertikaian. Seabagai antisipasi
hal tersebut, maka ditentukan secara rinci tentang pembagian harta warisan
sebagai pedoman.
Dengan telah
ditetapkannya pembagian harta warisan dalam Islam, maka harus ada orang yang
mempelajari dan mengajarkannya. Sehingga orang-orang yang telah mempelajarinya
dapat merealisasikan didalam pembagian harta warisan bagi umat Islam.
Para ulama berpendapat
bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqih mawaris adalah wajib kifayah. Dalam
artian apabila telah ada sebagian orang yang melakukannya (memenuhinya) maka
dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Tetapi apabila tidak ada seorang pun
yang melaksanakan kewajiban tersebut, maka semua orang menanggung dosa.
Dalam hadis Nabi
dinyatakan ; Pelajari oleh kalian al-Quran dan ajarkanlah kepada orang lain,
dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku
adalah orang yang bakal terengut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir
saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan
seorang pun yang dapat memberikan fatwa kepada mereka. (H.R. Ahmad, Nasai dan
al-Daruqutny).
Berdasarkan hadis
tersebut, ditempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh dengan
perintah mempelajari dan mengajarkan al-Quran, menandakan betapa pentingnya
ilmu faraidh tersebut. Hal tersebut sebagai upaya mewujudkan pembagian warisan
yang berkeadilan dan menurut ketentuan syariat Islam. Terlebih kecenderungan
manusia yang materialistik, maka ketentuan pembagian warisan tersebut sangat
penting agar terhindarnya konflik dan perselisihan.
C. KETENTUAN TENTANG HARTA BENDA
SEBELUM PEMBAGIAN WARISAN
Sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya, hendaknya dikeluarkan untuk keperluan berikut.
1.
Biaya pengurusan jenazah; seperti
membeli kain kafan, menyewa ambulans, dan biaya pemakaman. Bahkan, bisa
digunakan untuk biaya perawatan waktu sakit.
2.
Utang; Jika orang yang meninggal memiliki
utang, hendaknya utangnya dilunasi dengan harta peninggalannya.
3.
Zakat; Jika harta warisan
belum dizakati, padahal sudah memenuhi syaratsyarat wajibnya, hendaknya harta
itu dizakati dahulu scbelum dibagibagikan kepada ahli waris yang berhak
menerimanya.
4.
Wasiat; Wasiat adalah pesan
si pewaris sebelum meninggal dunia agar sebagian harta peninggalannya, kelak setelah
ia meninggal dunia, diserahkan kepada seseorang atau suatu lembaga (dakwah atau
sosial) Islam. Wasiat seperti itu harus dipenuhi dengan syarat jumlah harta
peninggalan yang diwasiatkannya tidak lebih dari sepertiga harta
peninggalannya. Kecuali, kalau disetujui oleh seluruh Ahli waris. Rasulullah
SAW. bersabda yang artinya: "Berwasiat sepertiga harta itu sudah banyak,
sesungguhnya jika ahli waris itu kamu tinggalkan dalam keadaan mampu, itu lebih
baik, daripada meninggalkan mereka dalam keadaan papa, menadahkan tangan kepada
manusia untuk meminta-minta." (HR. Bukhari-Muslim).
Selain itu, tidak dibenarkan
berwasiat kepada ahli waris, seperti anak kandung dan kedua orang tua karena
ahli waris tersebut sudah tentu akan mendapat bagian warisan yang telah
ditetapkan agama. Berwasiat kepada ahli waris bisa dilakukan apabila disetujui
oleh ahli waris yang lain. Rasulullah saw. Bersabda yang artinya "Tidak
boleh berwasiat bagi ahli waris, kecuali bila ahli waris yang lain
menyetujuinya." (HR. Daruqutni)
Apabila harta warisan sudah
dikeluarkan untuk empat macam keperluan di atas, barulah harta warisan itu
dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
D.
SEBAB-SEBAB ADANYA KEWARISAN (ASBAAB AL-IRTS)
Dalam kewarisan Islam,
sebab-sebab adanya hak kewarisan ada tiga, yaitu; hubungan kekerabatan,
hubungan perkawinan dan hubungan karena sebab al-wala’.
1. Hubungan Kekerabatan
Kekerabatan ialah
hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang
disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab memperoleh hak mewarisi
yang terkuat, karena kekerabatan termasuk unsure
causalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan
perkawinan, jika perkawinan telah putus (cerai) maka dapat hilang.
Dasar hukum kekerabatan
sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :
لِّلرِّجَالِ
نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ
مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ
ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا ﴿٧﴾
Bagi laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’ : 7).
Demikian pula dalam
surat al-Anfal ayat 75 : …Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)
didalam kitab Allah. (Q.S. Al-Anfal : 75).
2. Hubungan Perkawinan
Hubungan perkawinan
yang menyebabkan terjadinya saling mewarisi adalah perkawinan yang sah, yaitu
perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi. Dalam hal ini, terpenuhinya
rukun dan syarat secara agama. Tentang syarat administratif masih terdapat
perbedaan pendapat. Hukum perkawinan di Indonesia, memberikan kelonggaran dalam
hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan bukan secara
administrasi (hukum positif, Pen.) tetapi ketentuan agama.
Di sebagian negara
muslim, seperti Pakistan, perkawinan yang tidak dicatat dapat dihukum penjara
atau denda atau bahkan kedua-duanya. Di Indonesia hendaknya ini menjadi
perhatian, karena perkawinan yang tidak terpenuhinya secara administratif
(hukum positif) akan dapat menimbulkan kemudlaratan, seperti penyangkalan
terhadap suatu perkawinan karena tidak adanya bukti tertulis (secara
administratif).
Berkaitan dengan
perkawinan yang menyebabkan saling mewarisi adalah perkawinan yang masih utuh
atau dianggap masih utuh. Yang dimaksud dengan perkawinan yang dianggap masih
utuh ialah apabila perkawinan telah diputus dengan thalak raj’i (cerai pertama dan kedua) dan masa iddah raj’i bagi
seorang isteri belum selesai. Perkawinan tersebut dianggap masih utuh karena
selama masa iddah, suami berhak penuh merujuk isterinya tanpa memerlukan
kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin baru dan tanpa menghadirkan dua orang
saksi dan wali. Sehingga isteri yang sedang berada dalam masa iddah talak
raj’i, apabila suaminya meninggal ia berhak mewarisi harta suaminya. Demikian
pula sebaliknya, suami berhak mewarisi harta isterinya.
3. Hubungan Karena
Sebab Al-Wala’
Wala’ dalam pengertian
syariat adalah ;
a)
Kekerabatan menurut hukum yang timbul
karena membebaskan (memberi hak emansipasi) budak.
b)
Kekerabatan menurut hukum yang timbul
karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang
dengan seseorang yang lain.
Wala’ yang pertama
disebut dengan wala’ul ‘ataqah
(disebabkan karena adanya sebab telah membebaskan budak) Orang yang membebaskan
budak disebut mu’tiq jika laki-laki dan mu’tiqah jika perempuan. Sedangkan
wala’ yang kedua disebut dengan walaul-muwalah,
yaitu wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong menolong dengan yang
lain melalui suatu perjanjian. Misalnya seseorang berkata kepada orang lain;
wahai fulan engkau dapat mewarisi hartaku bila aku telah mati dan dapat
mengambil diyat (denda) untukku bila aku dilukai seseorang, demikian pula aku
dapat mewarisi hartamu dan mengambil diyat karenamu. Kemudian orang lain
tersebut menerima perjanjian itu. Pihak pertama disebut al-mawali dan pihak
kedua disebut al-mawala.
Adapun bagian orang
yang memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6 (seperenam) dari harta
peninggalan. Terhadap wala al-muwalah menurut jumhur ulama demikian pula
Undang-undang Kewarisan Mesir telah dinasakah melalui surat al-Anfal ayat 75 :
وَأُولُو
الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ
ۗ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ ﴿٧٥﴾
Orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.
E.
SEBAB-SEBAB TERHALANG MEMPEROLEH WARISAN (MAWAANI’ AL-IRTS)
Hal-hal yang dapat
menyebabkan seseorang terhalang untuk mewarisi ( موانع الارث ) ada tiga macam, yaitu : (Perbudakan, Pembunuhan, Berlainan Agama)
1. Perbudakan
Perbudakan menjadi
penghalang untuk mewarisi berdasarkan adanya petunjuk umum yang menyatakan
budak tidak memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum. Hal ini berdasarkan
surat al-Nahl ayat 75 :
ضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلًا عَبْدًا مَّمْلُوكًا لَّا يَقْدِرُ عَلَىٰ شَيْءٍ
Allah membuat
perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat
bertindak terhadap sesuatupun…(Q.S. Al-Nahl : 75).
Mafhum ayat tersebut
menjelaskan bahwa budak itu tidak cakap untuk mengurusi hak milik kebendaan
dengan jalan apa saja. Hak-hak kebendaannya sepenuhnya berada ditangan tuannya.
Dan status kekerabatan dengan keluarganya sudah putus. Sebagaimana dinyatakan
oleh Drs. Fatchur Rahman, bahwa budak tidak dapat mewarisi karena :
a. Ia dipandang tidak
cakap mengurusi harta milik;
b. Status
kekeluargaannya terhadap kerabat-kerabatnya sudah putus dan karenanya ia sudah
menjadi keluarga asing (bukan keluarganya).
Menurut Ali Ahmad
Al-Juejawy, budak itu tidak dapat mewarisi harta peninggalan tuannya bila
tuannya meninggal, disebabkan budak itu sendiri berstatus sebagai harta milik
bagi tuannya.
Kitab Undang-undang
Kewarisan Mesir tidak memuat pasal tentang penghalang mewarisi karena
perbudakan, karena di negara tersebut perbudakan dilarang oleh undang-undang.
Hal tersebut merupakan
hal yang sangat positif, karena pada hakikatnya Islam tidak menghendaki adanya
perbudakan. Hal tersebut dapat kita perhatikan dari gencarnya Islam
menghapuskan perbudakan dengan adanya hukuman yang diberikan kepada seseorang
berupa pembebasan budak. Budak adalah tetap manusia yang mempunyai harkat dan
martabat, hanya karena statusnya yang tidak memiliki kecakapan apapun. Hal
tersebut terjadi karena masa jahiliyah (sebelum Islam datang) budak diposisikan
dengan cara yang tidak terhormat, dapat diperlakukan apa saja dan dianggap
seperti barang/harta. Sehingga ajaran Islam yang sangat memperhatikan keadaan
dan kondisi suatu masyarakat, tidak dengan serta merta (secara totalitas)
menghapuskan tradisi tersebut. Proses tasyri’ yang sedemikian dapat juga kita
perhatikan dari proses pengharaman khamar (minuman keras) yang dilakukan dengan
bertahap.
2. Pembunuhan
Pembunuhan yang
dilakukan oleh ahli waris terhadap al-muwaris menyebabkannya tidak dapat
mewarisi hartanya. Demikian kesepakatan mayoritas (jumhur) ulama. Hal tersebut
merupakan hal yang cukup beralasan, karena tidak menutup kemungkinan untuk
menguasai harta seseorang membunuh orang lain. Karena motivasi yang tidak baik
tersebut, maka terhadap orang yang membunuh tidak diperkenankan dan tidak
berhak mewarisi harta peninggalannya.
Terhadap masalah ini,
golongan khawarij, yang memisahkan diri dari Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah,
menentang pendapat ini. Alasan mereka, ayat-ayat al-Quran bersifat umum dan
tidak mengecualikan si pembunuh. Karena ayat-ayat kewarisan hanya memberi
petunjuk umum, sehingga keumuman ayat-ayat tersebut harus diamalkan.
Dalam hal ini mereka
hanya mengacu pada keumuman ayat-ayat kewarisan. Padahal dalam hadis Nabi
Muhammad SAW. adanya pengecualian terhadap pembunuh. Adapun dasar hukum yang
dipergunakan oleh mayoritas (jumhur) ulama yang menyatakan pembunuh terhalang
untuk mewarisi adalah;
a. Riwayat Ahmad dari
Ibnu Abbas :
Rasulullah SAW.
bersabda : Barang siapa membunuh seseorang korban, maka ia tidak dapat
mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya. (Begitu
juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri. Maka bagi
pembunuh tidak berhak menerima warisan. (H.R. Ahmad).
b. Riwayat An-Nasai :
Tidak ada hak bagi
pembunuh sedikitpun untuk mewarisi. (H.R. An-Nasai).
Berdasarkan hadis-hadis
tersebut, maka secara jelas dinyatakan pembunuh terhalang untuk mewarisi harta
orang yang dibunuhnya. Hal tersebut, walaupun tidak ada ahli waris lain selain
dirinya, ataupun yang dibunuhnya orang tua atau anaknya. Yang menjadi
permasalahan adalah, mengingat banyaknya jenis dan macam pembunuhan.
3. Berlainan Agama
Terhadap orang yang
berlainan agama, maka hal tersebut dalam Islam menjadi penghalang mewarisi.
Semisal seorang muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang
beragama non Islam.
Adapun dasar hukumnya adalah
hadis Rasulullah SAW. : Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang
kafir tidak mewarisi harta orang Islam.
Kemudian hadis riwayat
Ashab Al-Sunan (Imam Abu daud, Al-Tirmizi, Al-Nasai, dan Ibnu majah) :
Tidak dapat saling
mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda.
Dalam hal ini Nabi
Muhammad SAW. ketika membagikan harta warisan paman beliau, Abu Thalib, orang
yang cukup berjasa dalam perjuangan nabi SAW. yang meninggal sebelum masuk
Islam, oleh nabi harta warisannya hanya dibagikan kepada anak-anaknya yang
masih kafoir, yaitu, ‘Uqail dan Talib. Sedangkan terhadap anak-anaknya yang
sudah masuk Islam, yaitu Ali dan Ja’far, tidak diberi bagian.
Dalam hal ini terdapat
permasalahan, yaitu apabila pewaris masuk Islam sesudah meninggalnya orang yang
mewarisi, dan harta peninggalan (ketika ia masuk Islam) belum dibagikan. Ada
beberapa pendapat sebagai berikut :
a.
Jumhur ulama tetap berpendapat
terhalangnya orang tersebut untuk mewarisi hartanya. Karena yang menyebabkan
timbulnya hak mewarisi adalah sejak (karena) kematian orang yang mewarisi,
bukan saat dimulainya pembagian harta waris.
b.
Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya,
menyatakan bahwa pewaris tersebut tidak terhalang, dengan alas an predikat
“berlainan agama’ sudah hilang sebelum pembagian harta warisan.
c.
Fuqaha aliran Imamiyah berpendapat sama
dengan Ahmad bin Hanbal, tidak terhalang, karena harta peninggalan itu belum
menjadi milik harta waris secara tetap, sebelum dibagi-bagikan kepada ahli
waris.
F.
AHLI WARIS
Ahli Waris ialah orang yang berhak menerima warisan, ditinjau jenisnya
dapat dibagi dua, yaitu zawil furud
dan ashobah.
Penggolongan ahli waris ahli waris ada dua jenis lelaki dan perempuan .
1. Ahli Waris lelaki terdiri dari.
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki sampai keatas dari garis anak
laki-laki.
c. Ayah
d. Kakek sampai keatas garis ayah
e. Saudara laki-laki kandung
f. Saudara laki-laki seayah
g. Saudara laki-laki seibu
h. Anak laki-laki saudara kandung sampai kebawah.
i. Anak laki-laki saudara seayah sampai kebawah.
j. Paman kandung
k. Paman seayah
l. Anak paman kandung sampai kebawah.
m. Anak paman seayah sampai kebawah.
n. Suami
o. Laki-laki yang memerdekakan
2. Ahli Waris wanita terdiri dari
a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan sampai kebawah dari anak laki-laki.
c. Ibu
d. Nenek sampai keatas dari garis ibu
e. Nenek sampai keatas dari garis ayah
f. Saudara perempuan kandung
g. Saudara perempuan seayah
h. Yang Saudara perempuan seibu.
i. Isteri
j. Wanita yang memerdekakan
Ditinjau dari sudut pembagian, Ahli waris terbagi dua yaitu : Ashhabul
furudh dan Ashobah.
1. Ashabul furudh yaitu orang yang mendapat bagian tertentu. Terdiri dari
a. Yang dapat bagian ½ harta.
o
Anak
perempuan kalau sendiri
o
Cucu
perempuan kalau sendiri
o
Saudara
perempuan kandung kalau sendiri
o
Saudara
perempuan seayah kalau sendiri
o
Suami
b. Yang mendapat bagian ¼ harta
o
Suami
dengan anak atau cucu
o
Isteri
atau beberapa kalau tidak ada (anak atau cucu)
c. Yang mendapat 1/8
o
Isteri
atau beberapa isteri dengan anak atau cucu.
d. Yang mendapat 2/3
o
dua
anak perempuan atau lebih
o
dua
cucu perempuan atau lebih
o
dua
saudara perempuan kandung atau lebih
o
dua
saudara perempuan seayah atau lebih
e. Yang mendapat 1/3
o
Ibu
jika tidak ada anak, cucu dari grs anak laki-laki, dua saudara kandung/seayah
atau seibu.
o
Dua
atau lebih anak ibu baik laki-laki atau perempuan
f. Yang mendapat 1/6
o
Ibu
bersama anak lk, cucu lk atau dua atau lebih saudara perempuan kandung atau
perempuan seibu.
o
Nenek
garis ibu jika tidak ada ibu dan terus keatas
o
Nenek
garis ayah jika tidak ada ibu dan ayah terus keatas
o
Satu
atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki bersama satu anak perempuan
kandung
o
Satu
atau lebih saudara perempuan seayah bersama satu saudara perempuan kandung.
o
Ayah
bersama anak lk atau cucu lk
o
Kakek
jika tidak ada ayah
o
Saudara
seibu satu orang, baik laki-laki atau perempuan.
2. Ahli waris
ashobah yaitu para ahli waris tidak mendapat bagian tertentu tetapi mereka
dapat menghabiskan bagian sisa ashhabul furud. Ashobah terbagi tiga jenis yaitu
ashabah binafsihi, ashobah bighairi dan ashobah menghabiskan bagian tertentu
a. Ashobah
binafsihi adalah yang ashobah dengan sendirinya. Tertib ashobah binafsihi
sebagai berikut:
o
Anak
laki-laki
o
Cucu
laki-laki dari anak laki-laki terus kebawah
o
Ayah
o
Kakek
dari garis ayah keatas
o
Saudara
laki-laki kandung
o
Saudara
laki-laki seayah
o
Anak
laki-laki saudara laki-laki kandung sampai kebawah
o
Anak
laki-laki saudara laki-laki seayah sampai kebawah
o
Paman
kandung
o
Paman
seayah
o
Anak
laki-laki paman kandung sampai kebawah
o
Anak
laki-laki paman seayah sampai kebawah
o
Laki-laki
yang memerdekakan yang meninggal
b. Ashobah
dengan dengan saudaranya
o
Anak
perempuan bersama anak laki-laki atau cucu laki.
o
Cucu
perempuan bersama cucu laki-laki
o
Saudara
perempkuan kandung bersama saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki
seayah.
o
Saudara
perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
o
Menghabiskan
bagian tertentu
o
Anak
perempuan kandung satu orang bersama cucu perempuan satu atau lebih (2/3).
o
Saudara
perempuan kandung bersama saudara perempuan seayah (2/3)
G.
HAJIB DAN MAHJUB
1. Nenek dari garis ibu gugur haknya karena adanya ibu.
2. Nenek dari garis ayah gugur haknya karena adanya ayah
dan ibu
3. Saudara seibu gugur haknya baik laki-laki ataupun
perempuan oleh:
a. anak kandung laki/perempuan
b. cucu baik laki-laki/perempuan dari garis laki-laki
c. bapak
d. kakek
4. Saudara seayah baik laki-laki/perempuan gugur haknya
oleh :
a. ayah
b. anak laki-laki kandung
c. cucu laki-laki dari garis laki-laki
d. Saudara laki-laki kandung
5. Saudara laki-laki/perempuan kandung gugur haknya oleh:
a. anak laki-laki
b. cucu laki-laki dari garis anak laki-laki
c. ayah
6. Jika semua ahli waris itu laki-laki yang dapat bagian
ialah.
a. suami
b. ayah
c. anak laki-laki
7. Jika semua ahli waris itu semuanya perempuan dan ada
semua, maka yang dapat warisan ialah:
a. Isteri
b. Anak perempuan
c. Cucu perempuan
d. Ibu
e. Saudara perempuan kandung
8. Urutan pembagian antara saudara laki-laki kandung/
saudara laki-laki seayah sampai kebawah dan urutan paman kandung / paman seayah
sampai kebawah.
a. Saudara laki-laki kandung menggugurkan saudara seayah(
L/P )
b. Saudara laki-laki seayah menggugurkan anak lk saudara
kandung
c. Anak laki-laki saudara kandung menggugurkan anak lk
saudara seayah
d. Anak laki-laki saudara seayah menggugurkan cucu lk
saudara kandung.
e. Cucu laki-laki saudara kandung menggugurkan cucu lk
saudara seayah dts
f. Cucu laki-laki saudara seayah menggugurkan Paman
kandung
g. Paman kandung menggugurkan paman seayah
h. Paman seayah menggugurkan anak laki-laki paman kandung
i. Anak laki-laki paman kandung menggugurkan anak lk
paman seayah
j. Anaklaki-laki paman seayah menggugurkan cucu lk paman kandung
k. Cucu laki-laki paman kandung menggugurkan cucu lk
paman seayah.
l. demikian seterusnya.
Sumber:
1. Pendidikan Agama Islam, UNM, 2014
2. http://anakmudagarut.blogspot.com/2008/10/fiqih-mawaris.html
nama : Febryana Syafitry
BalasHapuskelas : C.94
maaf, saya ingin bertanya, apabila ada sepasang suami-istri tidak mempunyai anak dan mengadopsi bayi (sejaklahir), apakah anak tersebut mendapatkan warisan atau tidak ? mohon penjelasaannya.. sekian dan terimakasih