Minggu, 09 November 2014

Materi VII Mawarits


A. PENGERTIAN
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata mirats (مراث), yang merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i.

B. HUKUM KEWARISAN
Dalam hukum kewarisan terdapat dua hal, yaitu hukum membagi harta warisan menurut ketentuan syari’at Islam dan hukum mempelajari dan mengajarkannya.

1. Hukum membagi harta warisan menurut ketentuan syari’at Islam
Bagi umat Islam melaksanakan peraturan-peraturan syari’at yang telah ditentukan nash yang sharih adalah suatu keharusan, selama peraturan tersebut tidak ditunjuk oleh dalil nash yang lain yang menunjukkan ketidak-wajibannya.
Dalam hal ini kita dapat merujuk nash al-Quran maupun al-Hadis yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu :
a. Surat an-Nisa’ ayat 13 dan 14 :

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَ‌ٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١٣﴾
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar. (QS. An-Nisa’: 13).

وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ ﴿١٤﴾
Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, Allah bakal memasukkannya ke dalam neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S. An-Nisa’: 14).

b. Hadis Rasulullah SAW.
Bagilah harta (warisan) antara ahli-ahli waris menurut kitabullah (al-Quran). (H.R. Muslim dan Abu Dawud).
Berdasarkan nash al-Quran dan al-Hadis tersebut, maka diisyaratkan keharusan (kewajiban) membagi harta warisan menurut ketentuan al-Quran dan al-Hadis. Tetapi selain pemindahan hak kepemilikan melalui kewarisan, adanya ketentuan wasiat dan hibah. Sehingga terhadap orang lain yang tidak mendapatkan harta melalui kewarisan dapat diberikan melalui wasiat atau hibah. Demikian pula bagi ahli waris yang merasa tidak membutuhkan dan tidak mau menerima pembagian harta warisan, dapat memberikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan melalui hibah.

2. Hukum mempelajari dan mengajarkannya.
Islam mengatur ketentuan pembagian harta waris secara rinci agar tidak terjadinya perselisihan dan pertikaian antara ahli waris. Hal tersebut seringkali terjadi jika seseorang meninggal dunia, menimbulkan perselisihan bagi ahli warisnya dalam pembagian harta, bahkan tidak jarang terjadi pertikaian. Seabagai antisipasi hal tersebut, maka ditentukan secara rinci tentang pembagian harta warisan sebagai pedoman.
Dengan telah ditetapkannya pembagian harta warisan dalam Islam, maka harus ada orang yang mempelajari dan mengajarkannya. Sehingga orang-orang yang telah mempelajarinya dapat merealisasikan didalam pembagian harta warisan bagi umat Islam.
Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqih mawaris adalah wajib kifayah. Dalam artian apabila telah ada sebagian orang yang melakukannya (memenuhinya) maka dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Tetapi apabila tidak ada seorang pun yang melaksanakan kewajiban tersebut, maka semua orang menanggung dosa.
Dalam hadis Nabi dinyatakan ; Pelajari oleh kalian al-Quran dan ajarkanlah kepada orang lain, dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah orang yang bakal terengut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorang pun yang dapat memberikan fatwa kepada mereka. (H.R. Ahmad, Nasai dan al-Daruqutny).
Berdasarkan hadis tersebut, ditempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh dengan perintah mempelajari dan mengajarkan al-Quran, menandakan betapa pentingnya ilmu faraidh tersebut. Hal tersebut sebagai upaya mewujudkan pembagian warisan yang berkeadilan dan menurut ketentuan syariat Islam. Terlebih kecenderungan manusia yang materialistik, maka ketentuan pembagian warisan tersebut sangat penting agar terhindarnya konflik dan perselisihan.

C. KETENTUAN TENTANG HARTA BENDA SEBELUM PEMBAGIAN WARISAN

Sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya, hendaknya dikeluarkan untuk keperluan berikut.

1.      Biaya pengurusan jenazah; seperti membeli kain kafan, menyewa ambulans, dan biaya pemakaman. Bahkan, bisa digunakan untuk biaya perawatan waktu sakit.
2.      Utang; Jika orang yang meninggal memiliki utang, hendaknya utangnya dilunasi dengan harta peninggalannya.
3.      Zakat; Jika harta warisan belum dizakati, padahal sudah memenuhi syaratsyarat wajibnya, hendaknya harta itu dizakati dahulu scbelum dibagibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
4.      Wasiat; Wasiat adalah pesan si pewaris sebelum meninggal dunia agar sebagian harta peninggalannya, kelak setelah ia meninggal dunia, diserahkan kepada seseorang atau suatu lembaga (dakwah atau sosial) Islam. Wasiat seperti itu harus dipenuhi dengan syarat jumlah harta peninggalan yang diwasiatkannya tidak lebih dari sepertiga harta peninggalannya. Kecuali, kalau disetujui oleh seluruh Ahli waris. Rasulullah SAW. bersabda yang artinya: "Berwasiat sepertiga harta itu sudah banyak, sesungguhnya jika ahli waris itu kamu tinggalkan dalam keadaan mampu, itu lebih baik, daripada meninggalkan mereka dalam keadaan papa, menadahkan tangan kepada manusia untuk meminta-minta." (HR. Bukhari-Muslim).

Selain itu, tidak dibenarkan berwasiat kepada ahli waris, seperti anak kandung dan kedua orang tua karena ahli waris tersebut sudah tentu akan mendapat bagian warisan yang telah ditetapkan agama. Berwasiat kepada ahli waris bisa dilakukan apabila disetujui oleh ahli waris yang lain. Rasulullah saw. Bersabda yang artinya "Tidak boleh berwasiat bagi ahli waris, kecuali bila ahli waris yang lain menyetujuinya." (HR. Daruqutni)
Apabila harta warisan sudah dikeluarkan untuk empat macam keperluan di atas, barulah harta warisan itu dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.

D. SEBAB-SEBAB ADANYA KEWARISAN (ASBAAB AL-IRTS)
Dalam kewarisan Islam, sebab-sebab adanya hak kewarisan ada tiga, yaitu; hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan dan hubungan karena sebab al-wala’.

1. Hubungan Kekerabatan
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab memperoleh hak mewarisi yang terkuat, karena kekerabatan termasuk unsure causalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan perkawinan, jika perkawinan telah putus (cerai) maka dapat hilang.
Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :

لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا ﴿٧﴾
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’ : 7).
Demikian pula dalam surat al-Anfal ayat 75 : …Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. (Q.S. Al-Anfal : 75).

2. Hubungan Perkawinan
Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling mewarisi adalah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi. Dalam hal ini, terpenuhinya rukun dan syarat secara agama. Tentang syarat administratif masih terdapat perbedaan pendapat. Hukum perkawinan di Indonesia, memberikan kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan bukan secara administrasi (hukum positif, Pen.) tetapi ketentuan agama.
Di sebagian negara muslim, seperti Pakistan, perkawinan yang tidak dicatat dapat dihukum penjara atau denda atau bahkan kedua-duanya. Di Indonesia hendaknya ini menjadi perhatian, karena perkawinan yang tidak terpenuhinya secara administratif (hukum positif) akan dapat menimbulkan kemudlaratan, seperti penyangkalan terhadap suatu perkawinan karena tidak adanya bukti tertulis (secara administratif).
Berkaitan dengan perkawinan yang menyebabkan saling mewarisi adalah perkawinan yang masih utuh atau dianggap masih utuh. Yang dimaksud dengan perkawinan yang dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan telah diputus dengan thalak raj’i (cerai pertama dan kedua) dan masa iddah raj’i bagi seorang isteri belum selesai. Perkawinan tersebut dianggap masih utuh karena selama masa iddah, suami berhak penuh merujuk isterinya tanpa memerlukan kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin baru dan tanpa menghadirkan dua orang saksi dan wali. Sehingga isteri yang sedang berada dalam masa iddah talak raj’i, apabila suaminya meninggal ia berhak mewarisi harta suaminya. Demikian pula sebaliknya, suami berhak mewarisi harta isterinya.

3. Hubungan Karena Sebab Al-Wala’
Wala’ dalam pengertian syariat adalah ;
a)      Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak emansipasi) budak.
b)      Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain.
Wala’ yang pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah (disebabkan karena adanya sebab telah membebaskan budak) Orang yang membebaskan budak disebut mu’tiq jika laki-laki dan mu’tiqah jika perempuan. Sedangkan wala’ yang kedua disebut dengan walaul-muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian. Misalnya seseorang berkata kepada orang lain; wahai fulan engkau dapat mewarisi hartaku bila aku telah mati dan dapat mengambil diyat (denda) untukku bila aku dilukai seseorang, demikian pula aku dapat mewarisi hartamu dan mengambil diyat karenamu. Kemudian orang lain tersebut menerima perjanjian itu. Pihak pertama disebut al-mawali dan pihak kedua disebut al-mawala.
Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6 (seperenam) dari harta peninggalan. Terhadap wala al-muwalah menurut jumhur ulama demikian pula Undang-undang Kewarisan Mesir telah dinasakah melalui surat al-Anfal ayat 75 :

وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٧٥﴾
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

E. SEBAB-SEBAB TERHALANG MEMPEROLEH WARISAN (MAWAANI’ AL-IRTS)
Hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang terhalang untuk mewarisi ( موانع الارث ) ada tiga macam, yaitu : (Perbudakan, Pembunuhan, Berlainan Agama)

1. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang untuk mewarisi berdasarkan adanya petunjuk umum yang menyatakan budak tidak memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum. Hal ini berdasarkan surat al-Nahl ayat 75 :

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا عَبْدًا مَّمْلُوكًا لَّا يَقْدِرُ عَلَىٰ شَيْءٍ
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun…(Q.S. Al-Nahl : 75).

Mafhum ayat tersebut menjelaskan bahwa budak itu tidak cakap untuk mengurusi hak milik kebendaan dengan jalan apa saja. Hak-hak kebendaannya sepenuhnya berada ditangan tuannya. Dan status kekerabatan dengan keluarganya sudah putus. Sebagaimana dinyatakan oleh Drs. Fatchur Rahman, bahwa budak tidak dapat mewarisi karena :
a. Ia dipandang tidak cakap mengurusi harta milik;
b. Status kekeluargaannya terhadap kerabat-kerabatnya sudah putus dan karenanya ia sudah menjadi keluarga asing (bukan keluarganya).
Menurut Ali Ahmad Al-Juejawy, budak itu tidak dapat mewarisi harta peninggalan tuannya bila tuannya meninggal, disebabkan budak itu sendiri berstatus sebagai harta milik bagi tuannya.
Kitab Undang-undang Kewarisan Mesir tidak memuat pasal tentang penghalang mewarisi karena perbudakan, karena di negara tersebut perbudakan dilarang oleh undang-undang.
Hal tersebut merupakan hal yang sangat positif, karena pada hakikatnya Islam tidak menghendaki adanya perbudakan. Hal tersebut dapat kita perhatikan dari gencarnya Islam menghapuskan perbudakan dengan adanya hukuman yang diberikan kepada seseorang berupa pembebasan budak. Budak adalah tetap manusia yang mempunyai harkat dan martabat, hanya karena statusnya yang tidak memiliki kecakapan apapun. Hal tersebut terjadi karena masa jahiliyah (sebelum Islam datang) budak diposisikan dengan cara yang tidak terhormat, dapat diperlakukan apa saja dan dianggap seperti barang/harta. Sehingga ajaran Islam yang sangat memperhatikan keadaan dan kondisi suatu masyarakat, tidak dengan serta merta (secara totalitas) menghapuskan tradisi tersebut. Proses tasyri’ yang sedemikian dapat juga kita perhatikan dari proses pengharaman khamar (minuman keras) yang dilakukan dengan bertahap.

2. Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap al-muwaris menyebabkannya tidak dapat mewarisi hartanya. Demikian kesepakatan mayoritas (jumhur) ulama. Hal tersebut merupakan hal yang cukup beralasan, karena tidak menutup kemungkinan untuk menguasai harta seseorang membunuh orang lain. Karena motivasi yang tidak baik tersebut, maka terhadap orang yang membunuh tidak diperkenankan dan tidak berhak mewarisi harta peninggalannya.
Terhadap masalah ini, golongan khawarij, yang memisahkan diri dari Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, menentang pendapat ini. Alasan mereka, ayat-ayat al-Quran bersifat umum dan tidak mengecualikan si pembunuh. Karena ayat-ayat kewarisan hanya memberi petunjuk umum, sehingga keumuman ayat-ayat tersebut harus diamalkan.
Dalam hal ini mereka hanya mengacu pada keumuman ayat-ayat kewarisan. Padahal dalam hadis Nabi Muhammad SAW. adanya pengecualian terhadap pembunuh. Adapun dasar hukum yang dipergunakan oleh mayoritas (jumhur) ulama yang menyatakan pembunuh terhalang untuk mewarisi adalah;
a. Riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas :
Rasulullah SAW. bersabda : Barang siapa membunuh seseorang korban, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya. (Begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri. Maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan. (H.R. Ahmad).
b. Riwayat An-Nasai :
Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi. (H.R. An-Nasai).
Berdasarkan hadis-hadis tersebut, maka secara jelas dinyatakan pembunuh terhalang untuk mewarisi harta orang yang dibunuhnya. Hal tersebut, walaupun tidak ada ahli waris lain selain dirinya, ataupun yang dibunuhnya orang tua atau anaknya. Yang menjadi permasalahan adalah, mengingat banyaknya jenis dan macam pembunuhan. 

3. Berlainan Agama
Terhadap orang yang berlainan agama, maka hal tersebut dalam Islam menjadi penghalang mewarisi. Semisal seorang muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang beragama non Islam.
Adapun dasar hukumnya adalah hadis Rasulullah SAW. : Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam.
Kemudian hadis riwayat Ashab Al-Sunan (Imam Abu daud, Al-Tirmizi, Al-Nasai, dan Ibnu majah) :
Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda.
Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW. ketika membagikan harta warisan paman beliau, Abu Thalib, orang yang cukup berjasa dalam perjuangan nabi SAW. yang meninggal sebelum masuk Islam, oleh nabi harta warisannya hanya dibagikan kepada anak-anaknya yang masih kafoir, yaitu, ‘Uqail dan Talib. Sedangkan terhadap anak-anaknya yang sudah masuk Islam, yaitu Ali dan Ja’far, tidak diberi bagian.
Dalam hal ini terdapat permasalahan, yaitu apabila pewaris masuk Islam sesudah meninggalnya orang yang mewarisi, dan harta peninggalan (ketika ia masuk Islam) belum dibagikan. Ada beberapa pendapat sebagai berikut :
a.       Jumhur ulama tetap berpendapat terhalangnya orang tersebut untuk mewarisi hartanya. Karena yang menyebabkan timbulnya hak mewarisi adalah sejak (karena) kematian orang yang mewarisi, bukan saat dimulainya pembagian harta waris.
b.      Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, menyatakan bahwa pewaris tersebut tidak terhalang, dengan alas an predikat “berlainan agama’ sudah hilang sebelum pembagian harta warisan.
c.       Fuqaha aliran Imamiyah berpendapat sama dengan Ahmad bin Hanbal, tidak terhalang, karena harta peninggalan itu belum menjadi milik harta waris secara tetap, sebelum dibagi-bagikan kepada ahli waris.

F. AHLI WARIS
Ahli Waris ialah orang yang berhak menerima warisan, ditinjau jenisnya dapat dibagi dua, yaitu zawil furud dan ashobah.
Penggolongan ahli waris ahli waris ada dua jenis lelaki dan perempuan .
1. Ahli Waris lelaki terdiri dari.
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki sampai keatas dari garis anak laki-laki.
c. Ayah
d. Kakek sampai keatas garis ayah
e. Saudara laki-laki kandung
f. Saudara laki-laki seayah
g. Saudara laki-laki seibu
h. Anak laki-laki saudara kandung sampai kebawah.
i. Anak laki-laki saudara seayah sampai kebawah.
j. Paman kandung
k. Paman seayah
l. Anak paman kandung sampai kebawah.
m. Anak paman seayah sampai kebawah.
n. Suami
o. Laki-laki yang memerdekakan
2. Ahli Waris wanita terdiri dari
a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan sampai kebawah dari anak laki-laki.
c. Ibu
d. Nenek sampai keatas dari garis ibu
e. Nenek sampai keatas dari garis ayah
f. Saudara perempuan kandung
g. Saudara perempuan seayah
h. Yang Saudara perempuan seibu.
i. Isteri
j. Wanita yang memerdekakan
Ditinjau dari sudut pembagian, Ahli waris terbagi dua yaitu : Ashhabul furudh dan Ashobah.
1. Ashabul furudh yaitu orang yang mendapat bagian tertentu. Terdiri dari
a. Yang dapat bagian ½ harta.
o   Anak perempuan kalau sendiri
o   Cucu perempuan kalau sendiri
o   Saudara perempuan kandung kalau sendiri
o   Saudara perempuan seayah kalau sendiri
o   Suami
b. Yang mendapat bagian ¼ harta
o   Suami dengan anak atau cucu
o   Isteri atau beberapa kalau tidak ada (anak atau cucu)
c. Yang mendapat 1/8
o   Isteri atau beberapa isteri dengan anak atau cucu.
d. Yang mendapat 2/3
o   dua anak perempuan atau lebih
o   dua cucu perempuan atau lebih
o   dua saudara perempuan kandung atau lebih
o   dua saudara perempuan seayah atau lebih
e. Yang mendapat 1/3
o   Ibu jika tidak ada anak, cucu dari grs anak laki-laki, dua saudara kandung/seayah atau seibu.
o   Dua atau lebih anak ibu baik laki-laki atau perempuan
f. Yang mendapat 1/6
o   Ibu bersama anak lk, cucu lk atau dua atau lebih saudara perempuan kandung atau perempuan seibu.
o   Nenek garis ibu jika tidak ada ibu dan terus keatas
o   Nenek garis ayah jika tidak ada ibu dan ayah terus keatas
o   Satu atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki bersama satu anak perempuan kandung
o   Satu atau lebih saudara perempuan seayah bersama satu saudara perempuan kandung.
o   Ayah bersama anak lk atau cucu lk
o   Kakek jika tidak ada ayah
o   Saudara seibu satu orang, baik laki-laki atau perempuan.
2. Ahli waris ashobah yaitu para ahli waris tidak mendapat bagian tertentu tetapi mereka dapat menghabiskan bagian sisa ashhabul furud. Ashobah terbagi tiga jenis yaitu ashabah binafsihi, ashobah bighairi dan ashobah menghabiskan bagian tertentu
a. Ashobah binafsihi adalah yang ashobah dengan sendirinya. Tertib ashobah binafsihi sebagai berikut:
o   Anak laki-laki
o   Cucu laki-laki dari anak laki-laki terus kebawah
o   Ayah
o   Kakek dari garis ayah keatas
o   Saudara laki-laki kandung
o   Saudara laki-laki seayah
o   Anak laki-laki saudara laki-laki kandung sampai kebawah
o   Anak laki-laki saudara laki-laki seayah sampai kebawah
o   Paman kandung
o   Paman seayah
o   Anak laki-laki paman kandung sampai kebawah
o   Anak laki-laki paman seayah sampai kebawah
o   Laki-laki yang memerdekakan yang meninggal
b. Ashobah dengan dengan saudaranya
o   Anak perempuan bersama anak laki-laki atau cucu laki.
o   Cucu perempuan bersama cucu laki-laki
o   Saudara perempkuan kandung bersama saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah.
o   Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
o   Menghabiskan bagian tertentu
o   Anak perempuan kandung satu orang bersama cucu perempuan satu atau lebih (2/3).
o   Saudara perempuan kandung bersama saudara perempuan seayah (2/3)

G. HAJIB DAN MAHJUB
1. Nenek dari garis ibu gugur haknya karena adanya ibu.
2. Nenek dari garis ayah gugur haknya karena adanya ayah dan ibu
3. Saudara seibu gugur haknya baik laki-laki ataupun perempuan oleh:
a. anak kandung laki/perempuan
b. cucu baik laki-laki/perempuan dari garis laki-laki
c. bapak
d. kakek
4. Saudara seayah baik laki-laki/perempuan gugur haknya oleh :
a. ayah
b. anak laki-laki kandung
c. cucu laki-laki dari garis laki-laki
d. Saudara laki-laki kandung
5. Saudara laki-laki/perempuan kandung gugur haknya oleh:
a. anak laki-laki
b. cucu laki-laki dari garis anak laki-laki
c. ayah
6. Jika semua ahli waris itu laki-laki yang dapat bagian ialah.
a. suami
b. ayah
c. anak laki-laki
7. Jika semua ahli waris itu semuanya perempuan dan ada semua, maka yang dapat warisan ialah:
a. Isteri
b. Anak perempuan
c. Cucu perempuan
d. Ibu
e. Saudara perempuan kandung
8. Urutan pembagian antara saudara laki-laki kandung/ saudara laki-laki seayah sampai kebawah dan urutan paman kandung / paman seayah sampai kebawah.
a. Saudara laki-laki kandung menggugurkan saudara seayah( L/P )
b. Saudara laki-laki seayah menggugurkan anak lk saudara kandung
c. Anak laki-laki saudara kandung menggugurkan anak lk saudara seayah
d. Anak laki-laki saudara seayah menggugurkan cucu lk saudara kandung.
e. Cucu laki-laki saudara kandung menggugurkan cucu lk saudara seayah dts
f. Cucu laki-laki saudara seayah menggugurkan Paman kandung
g. Paman kandung menggugurkan paman seayah
h. Paman seayah menggugurkan anak laki-laki paman kandung
i. Anak laki-laki paman kandung menggugurkan anak lk paman seayah
j. Anaklaki-laki paman seayah menggugurkan cucu lk paman kandung
k. Cucu laki-laki paman kandung menggugurkan cucu lk paman seayah.
l. demikian seterusnya.

Sumber:
1. Pendidikan Agama Islam, UNM, 2014
2. http://anakmudagarut.blogspot.com/2008/10/fiqih-mawaris.html

1 komentar:

  1. nama : Febryana Syafitry
    kelas : C.94

    maaf, saya ingin bertanya, apabila ada sepasang suami-istri tidak mempunyai anak dan mengadopsi bayi (sejaklahir), apakah anak tersebut mendapatkan warisan atau tidak ? mohon penjelasaannya.. sekian dan terimakasih

    BalasHapus