Senin, 24 November 2014

Materi IX Etika, Moral dan Akhlak



PENDAHULUAN

Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cermin dari apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan dorongan dari keimanan seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan dalam perilaku nyata sehari-hari.
Pada saat ini, kehidupan semakin sulit di mana kebutuhan semakin kompleks namun sarana pemenuhan kenutuhan terbatas. Ada sebagian orang yang belum dapat memenuhi kebutuhannya, sehingga menyebabkan beberapa dari mereka menghalalkan segala cara untuk bisa memenuhi kebutuhanya. Terutama pada saat ini banyak orang beranggapan bahwa harta adalah prioritas utama
Akhlak tercela tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja namun juga terjadi pada sebagian besar para remaja. Remaja sering dikaitkan dengan masalah. Banyak pengaruh serta tekanan dari luar yang kebanyakan menjerumuskan kepada hal-hal yang negatif. Apabila sudah terpedaya pada hal-hal yang negatif, akhlak remaja mudah rusak sehingga menimbulkan berbagai masalah. Padahal pemuda adalah generasi penerus bangsa, namun pada kenyatanya sebagian besar remaja pada saat ini sudah terjerumus dalam hal negatif, seperti seks bebas, narkoba, dan lain-lain.

Pengertian Etika, Moral,dan Akhlak

Etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu, Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat, karena itu yang menjadi standar baik dan buruk itu adalah akal manusia. Jika dibandingkan dengan moral, maka etika lebih bersifat teoritis sedangkan moral bersifat praktis. Moral bersifat lokal atau khusus dan etika bersifat umum.
Moral berasal dari bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik buruk yang diterima umum atau masyarakat. Karena itu adat istiadat masyarakat menjadi standar dalam menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan.
Akhlak berasal dari kata “khuluq” yang artinya perang atau tabiat. Dan dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata akhlak di artikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Dapat di definisikan bahwa akhlak adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah, spontan tanpa di pikirkan dan di renungkan lagi. Dengan demikian akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Apabila perbuatan spontan itu baik menurut akal dan agama, maka tindakan itu disebut akhlak yang baik atau akhlakul karimah (akhlak mahmudah). Misalnya jujur, adil, rendah hati, pemurah, santun dan sebagainya. Sebaliknya apabila buruk disebut akhlak yang buruk atau akhlakul mazmumah. Misalnya kikir, zalim, dengki, iri hati, dusta dan sebagainya. Baik dan buruk akhlak didasarkan kepada sumber nilai, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasul

Perbedaan antara akhlak, moral dan etika

Perbedaan antara akhlak dengan moral dan etika dapat dilihat dari dasar penentuan atau standar ukuran baik dan buruk yang digunakannya. Standar baik dan buruk akhlak berdasarkan Al- Qur’an dan Sunnah Rasul, sedangkan moral dan etika berdasarkan adat istiadat atau kesepakatan yang dibuat olehsuatu masyarakat jika masyarakat menganggap suatu perbuatan itu baik maka baik pulalah nilai perbuatan itu.
Dengan demikian standar nilai moral dan etika bersifat lokal dan temporal, sedangkan standar akhlak bersifat universal dan abadi. Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cermin dari apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan dorongan dari keimanan seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan dalam prilaku nyata sehari-hari. Inilah yang menjadi misi diutusnya Rasul sebagaimana disabdakannya :“ Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.”(Hadits riwayat Ahmad).
Secara umum dapat dikatakan bahwa akhlak yang baik pada dasarnya adalah akumulasi dari aqidah dan syari’at yang bersatu secara utuh dalam diri seseorang. Apabila aqidah telah mendorong pelaksanaan syari’at akan lahir akhlak yang baik, atau dengan kata lain akhlak merupakan perilaku yang tampak apabila syari’at Islam telah dilaksanakan berdasarkan aqidah.

Hubungan Tasawuf dengan Akhlak
Tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada Tuhan (Allah) dengan cara mensucikan hati. Hati yang suci bukan hanya bisa dekat dengan Tuhan malah dapat melihat Tuhan (al-Ma’rifah). Dalam tasawuf disebutkan bahwa Tuhan Yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh hati yang suci.
Kalau ilmu akhlak menjelaskan mana nilai yang baik dan mana yang buruk juga bagaimana mengubah akhlak buruk agar menjadi baik secara zahiriah yakni dengan cara-cara yang nampak seperti keilmuan, keteladanan, pembiasaan, dan lain-lain maka ilmu tasawuf menerangkan bagaimana cara menyucikan hati , agar setelah hatinya suci yang muncul dari perilakunya adalah akhlak al-karimah. Perbaikan akhlak, menurut ilmu tasawuf, harus berawal dari penyucian hati.
Dalam kacamata akhlak, tidaklah cukup iman seseorang hanya dalam bentuk pengakuan, apalagi kalau hanya dalam bentuk pengetahuan. Yang “kaffah” adalah iman,ilmu dan amal. Amal itulah yang dimaksud akhlak . Tujuan yang hendak dicapai dengan ilmu akhlak adalah kesejahteraan hidup manusia di dunia dan kebahagian hidup di akhirat.
Dari satu segi akhlak adalah buah dari tasawuf (proses pendekatan diri kepada Tuhan), tapi dari sisi lain akhlak pun merupakan usaha manusia secara “zahiriyyah”  dan “riyadhah”.

Karakteristik Etika Islam (Akhlak)

Akhlak merupakan ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, terpuji atau tercela menyangkut perilaku manusia yang meliputi perkataan, pikiran dan perbuatan manusia lahir dan bathin.
Menurut Ibnu ‘Arabi, di dalam diri manusia ada tiga nafsu,yaitu :
  1. Nafsu Syahwaniyah, ialah nafsu yang ada pada manusia dan binatang, nafsu ini cenderung kepada kelezatan jasmaniyah, misalnya makan, minum dan nafsu seksual. Jika nafsu ini tidak terkendali, manusia menjadi tidak ada bedanya dengan binatang, sikap hidupnya menjadi hedonisme.
  2. Nafsu Ghodlobiyah, nafsu ini juga ada pada manusia dan binatang, yaitu nafsu yang cenderung pada amarah, merusak dan senang menguasai dan mengalahkan yang lain. Nafsu ini lebih berbahaya daripada nafsu syahwaniyah jika tidak terkendali, karena dapat mengalahkan akal.
  3.  Nafsu Nathiqah, ialah nafsu yang membedakan manusia dengan binatang. Dengan nafsu ini manusia mampu berpikir dengan baik, berdzikir, mengambil hikmah dan memahami fenomena alam. nafsu syahwaniyah ini menjadikan manusia dapat membedakan yang baik dan yang buruk.
Apabila manusia dapat mengoptimalkan nafsu nathiqah untuk mengendalikan dan nafsu ghodlobiyah, manusia akan dapat menjadi lebih unggul dan mulia. Pada akhirnya lahirlah manusia-manusia yang berakhlakul karimah.
Begitu pentingnya kedudukan akhlak dalam Islam sehingga Al-Qur’an tidak hanya memuat ayat-ayat tentang akhlak secara spesifik, melainkan selalu mengaitkan ayat-ayat yang berbicara tentang hukum dengan masalah akhlak pada ujung ayat. Ayat-ayat yang berbicara tentang shalat, puasa, haji dan zakat serta mu’amalah selalu dikaitkan dan diakhiri dengan pesan-pesan perbaikan akhlak. (Al-Baqarah 2 : 183) : “Hai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. Dan (Al-Baqarah 2 : 197) : “(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barang siapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafas), berbuat maksiat dan bertengkar dalam melakukan ibadah haji…….”
Hamzah Ya’qub (1996), etika Islam mempunyai karakteristik sebagai berikut :
  1. Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
  2. Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan pada ajaran Allah Swt.
  3. Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima dan dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat.
  4. Etika Islam mengatur dan mengarahkan fithrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia.
Indikator Manusia Berakhlak

Indikator manusia berakhlak (husn al-khuluq) adalah tertanamnya iman dalam hati dan teraplikasikannya  dalam perilaku. Sebaliknya manusia yang tidak berakhlak (su’al-khuluq) adalah manusia yang ada nifaq (kemunafikan dalam hatinya. Nifaq adalah sikap mendua terhadap Allah. Tidak ada kesesuaian antara hati dan perbuatan.
Ahli tasawuf mengemukakan bahwa indikator manusia berakhlak, antara lain adalah : (1) memiliki budaya malu dalam berinteraksi dengan sesamanya, (2) tidak menyakiti orang lain, (3) banyak kebaikannya, (4) jujur dalam ucapannya, (5) tidak banyak bicara tetapi banyak berbuat, (6) penyabar, (7) tenang, (8) hatinya selalu bersama Allah,(9)  suka berterima kasih,(10) ridha terhadap ketentuan Allah, (11) bijaksana, (12) berhati-hati dalam bertindak, (13) disenangi teman dan lawan, (14) tidak pendendam, (15) tidak suka mengadu domba,(16)  sedikit makan dan tidur,(17)  tidak pelit dan hasad, (18) cinta dan benci karena Allah.
Di dalam Al-qur’an banyak ditemukan ciri-ciri manusia yang beriman dan memiliki akhlak mulia, antara lain :
  1. Istiqomah atau konsekwen dalam pendirian (QS. Al-Ahqaf : 13)
  2. Suka berbuat kebaikan (QS. Al Baqarah : 112)
  3. Memenuhi amanah dan berbuat adil (QS. An-Nisa’ : 58)
  4. Kreatif dan tawakkal (QS. Ali-Imron : 160)
  5. Disiplin waktu dan produktif (QS. Al-Ashr : 1-4)
  6. Melakukan sesuatu secara proporsional dan harmonis (QS. Al-A’raf : 31
Akhlak dan Aktualisasinya Dalam Kehidupan

Aktualisasi akhlak adalah bagaimana seseorang dapat mengimplementasikan iman yang dimilikinya dan mengaplikasikan seluruh ajaran Islam dalam setiap tingkah laku sehari-hari.
Menurut obyek atau sasarannya terdapat akhlak kepada Allah, akhlak kepada manusia dan akhlak kepada lingkungan.
  1. Akhlak kepada Allah
a.       Beribadah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk menyembah-Nya sesuai dengan perintah-Nya. Seorang muslim beribadah membuktikan ketundukan dan kepatuhan terhadap perintah Allah. Berakhlak kepada Allah dilakukan melalui media komunikasi yang telah disediakan, antara lain ibadah shalat.
b.      Berdzikir, yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. Berdzikir kepada Allah melahirkan ketenangan dan ketentraman hati sebagaimana diungkapkan dalam firman Allah  dalam surat Ar-Ra’d 13 : 28, yang artinya sbb: “Ingatlah, dengan dzikir kepada Allah akan menentramkan hati”.
c.       Berdo’a, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Do’a merupakan inti ibadah, karena ia merupakan pengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia, sekaligus pengakuan akan kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu. Kekuatan do’a dalam ajaran Islam sangat luar biasa, karena ia mampu menembus kekuatan akal manusia. Oleh karena itu, berusaha dan berdo’a merupakan dua sisi tugas hidup manusia yang bersatu secara utuh dalam aktivitas hidup setiap muslim. Orang yang tidak pernah berdo’a adalah orang yang tidak menerima keterbatasan dirinya sebagai manusia karena itu dipandang sebagai orang yang sombong, suatu perilaku yang tidak disukai Allah.
d.      Tawakkal kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan menunggu hasil pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan. Disebutkan dalam surat Hud 11: 123, yang artinya : “Dan kepunyaan Allah-lah segala rahasia langit dan bumi, dan kepada-Nyalah dikembalikan segala urusan. Oleh karena itu sembahlah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak akan melupakan apa yang kamu kerjakan”. Tawakkal bukanlah menyerah kepada keadaan, sebaliknya tawakkal mendorong orang untuk bekerja keras karena Allah tidak menyia-nyiakan kerja manusia. Setelah bekerja keras apapun hasilnya akan diterimanya sebagai sesuatu yang terbaik bagi dirinya, tidak kecewa atau putus asa.
e.       Tawadduk kepada Allah, adalah rendah hati dihadapan Allah. Mengakui bahwa dirinya rendah dan hina dihadapan Allah Mahakuasa, oleh karena itu tidak layak kalau hidup dengan angkuh dan sombong, tidak mau memaafkan orang lain, dan pamrih dalam melaksanakan ibadah kepada Allah, Nabi bersabda : “Sedekah tidak mengurangi harta dan Allah tidak menambah selain kehormatan pada seseorang yang memberi maaf. Dan tidak seorang yang tawadduk secara ikhlas karena Allah,melainkan dia dimuliakan Allah”. (Hadits riwayat Muslim dan Abu Hurairah) Oleh karena itu tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak bertawadduk kepada Allah karena manusia diciptakan dari bahan yang hina nilainya, yaitu tanah.

2.  Akhlak kepada manusia
a.       Akhlak kepada diri sendiri
1) Sabar, adalah perilaku seseorang terhadap dirinya sendiri sebagai hasil dari pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap terhadap apa yang menimpanya. Sabar diungkapkan ketika melaksanakan perintah, menjauhi larangan, dan ketika ditimpa musibah dari Allah.
Sabar melaksanakan perintah adalah sikap menerima dan melaksanakan segala perintah Allah dengan ikhlas. Sedangkan sabar dalam menjauhi larangan Allah adalah berjuang mengendalikan diri untuk meninggalkan (larangan) itu. Sabar terhadap musibah adalah menerima musibah apa saja yang menimpa dengan tetap berbaik sangka kepada Allah serta tetap yakin bahwa ada hikmah dalam setiap musibah itu. Sabar terhadap musibah merupakan gambaran jiwa yang tenang dan keyakinan yang tinggi terhadap Allah, karena itu pantaslah kalau Allah menghapus dosa-dosanya, sebagaimana sabda Nabi, yang artinya : “Tidak ada seorang muslim yang terkena gangguan, baik berupa duri atau lebih dari itu, melainkan akan menghapus kesalahannya dan menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana gugurnya daun dari pohon” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
2) Syukur adalah sikap berterima kasih atas`pemberian nikmat Allah yang tidak bisa terhitung banyaknya. Syukur diungkapkan dalam bentuk ucapan dan memuji Allah dengan bacaan hamdalah, sedangkan syukur dengan perbuatan dilakukan dengan menggunakan dan memanfaatkan nikmat Allah sesuai dengan keharusannya, seperti bersyukur diberi penglihatan dengan menggunakannya untuk membaca ayat-ayat Allah, baik yang tersurat dalam Al-qur’an maupun yang tersirat pada alam semesta.
Orang yang selalu bersyukur terhadap nikmat Allah akan ditambah nikmat yang diterimanya sebagaimana firman-Nya, yang artinya : “Kalau kalian bersyukur, tentu Aku akan menambah (nikmat) untukmu dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (Srt Ibrahim :7).
3) Tawadduk, yaitu rendah hati, selalu menghargai siapa saja yang dihadapinya, orang tua, muda, kaya atau miskin. Sikap tawadduk lahir dari kesadaran akan hakikat dirinya sebagai manusia yang lemah dan serba terbatas yang tidak layak untuk bersikap sombong dan angkuh di muka bumi, Allah berfirman, artinya : “Janganlah kamu palingkan mukamu dari manusia dan jangan kamu berjalan di muka bumi dengan sombong. (QS. Luqman 31 : 18)

b.      Akhlak Kepada Orangtua
Akhlak kepada kedua orang orangtua disebut juga dengan birrul walidain, Allah memerintahkan kepada kita agar senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua, sebagaimana firman-Nya dalam surat Luqman : 14, yang artinya : “ Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada ibu bapaknya, ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.
Berbuat baik kepada ibu bapak bukan saja ketika mereka hidup, tetapi walaupun mereka telah meninggal dunia kita tetap harus berbuat baik kepada keduanya dengan cara mendo’akan dan memintakan ampunan untuk mereka kepada Allah, menepati janji mereka yang belum terpenuhi, meneruskan silaturrahim dengan sahabat-sahabat mereka sewaktu masih hidup, dan seterusnya.

c.       Akhlak Kepada Keluarga
Akhlak terhadap keluarga adalah mengembangkan kasih sayang di antara anggota keluarga yang diungkapkan dalam bentuk komunikasi. Apabila kasih sayang telah mendasari komunikasi antara orang tua dengan anak, maka akan lahir wibawa pada orang tua. Demikian sebaliknya, akan lahir kepercayaan orang tua pada anak. Oleh karena itu kasih sayang harus menjadi muatan utama dalam komunikasi semua pihak dalam keluarga.
Pendidikan yang ditanamkan pada keluarga akan menjadi ukuran utama bagi anak dalam menghadapi pengaruh yang datang kepada mereka di luar rumah. Dengan dibekali nilai-nilai dari rumah, anak-anak dapat menjauh segala pengaruh tidak baik yang datang kepadanya. Sebaliknya anak-anak yang tidak dibekali oleh nilai-nilai dari rumah, jiwanya kosong dan akan mudah sekali terpengaruh oleh lingkungan di luar rumah.
Nilai essensial yang dididikkan kepada anak dalam keluarga, yang pertama adalah aqidah, yaitu keyakinan tentang eksistensi Allah. Apabila keyakinan itu sudah tertanam sejak dini, maka kemanapun akan pergi dan apapun yang dilakukannya akan hati-hati dan waspada karena ia akan selalu merasa diawasi oleh Allah. Seperti yang diajarkan oleh Luqman kepada anaknya, yang dimuat dalam Al-qur’an surat Luqman : 13, yang artinya : “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata pada anaknya : “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.

3. Akhlak Kepada Lingkungan Hidup

Misi agama Islam adalah mengembangkan rahmat, bukan hanya kepada manusia tetapi juga kepada alam dan lingkungan hidup, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Anbiya, 21 : 107, artinya : “Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”.
Misi tersebut tidak terlepas dari tujuan diangkatnya manusia sebagai khalifah di muka bumi, yaitu sebagai wakil Allah yang bertugas memakmurkan,mengelola, dan melestarikan alam. Berakhlak kepada lingkungan hidup adalah menjalin dan mengembangkan hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya.
Alam dan lingkungan yang terkelola dengan baik dapat memberi manfaat, sebaliknya jika alam yang dibiarkan atau hanya diambil manfaatnya saja akan mendatangkan malapetaka bagi manusia. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Rum, 30 : 41), yang artinya : “ Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar”.
Kerusakan ekosistem di lautan dan daratan terjadi akibat manusia tidak sadar, sombong, egois, rakus, dan angkuh. Perbuatan ini disebut dengan akhlak yang tidak terpuji (al akhlaqul madzmumah).

Daftar Pustaka
  • Al Ghazali, Abu Hamid, Ihya’ Ulumuddin, Beirut; Dar al Fikr, t. th.
  • Departemen Agama RI. 2001. Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta; PT Bulan Bintang.
  • Ishak, Sholeh. 1990. Akhlak dan Tasawwuf. Bandung; IAIN Sunan Gunung Jati.
  • Jatmika, Rahmat. 1990. Sistem Etika Islam, Jakarta; Panjimas
  • Nurdin Muslim, 1995. Moral dan Kognisi Islam, Bandung; Alfa beta.
  • Tim Dosen PAI, 2012. Pendidikan Agama Islam, Makassar: Universitas Negeri Makassar.

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum wr.wb
    saya Megawati j.a
    kelas c.92
    Nim :1447142008
    saya ingin bertanya pak..
    Menurut sebagian besar pemikir muslim, orientasi pendidikan akhlak adalah terbentuknya keutamaan diri pada setiap individu peserta didik. Dengan seperti ini, apakah tuntutan yang perlu dipenuhi dalam pendidikan akhlak, tolong jelaskan !

    sekian terima kasih, wassalam

    BalasHapus