PENDAHULUAN
Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cermin
dari apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan
dorongan dari keimanan seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan dalam
perilaku nyata sehari-hari.
Pada saat ini, kehidupan semakin sulit di mana
kebutuhan semakin kompleks namun sarana pemenuhan kenutuhan terbatas. Ada
sebagian orang yang belum dapat memenuhi kebutuhannya, sehingga menyebabkan
beberapa dari mereka menghalalkan segala cara untuk bisa memenuhi kebutuhanya.
Terutama pada saat ini banyak orang beranggapan bahwa harta adalah prioritas
utama
Akhlak tercela tidak hanya terjadi pada orang
dewasa saja namun juga terjadi pada sebagian besar para remaja. Remaja sering
dikaitkan dengan masalah. Banyak pengaruh serta tekanan dari luar yang
kebanyakan menjerumuskan kepada hal-hal yang negatif. Apabila sudah terpedaya
pada hal-hal yang negatif, akhlak remaja mudah rusak sehingga menimbulkan
berbagai masalah. Padahal pemuda adalah generasi penerus bangsa, namun pada
kenyatanya sebagian besar remaja pada saat ini sudah terjerumus dalam hal
negatif, seperti seks bebas, narkoba, dan lain-lain.
Pengertian Etika, Moral,dan Akhlak
Etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu
sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu, Etika lebih banyak dikaitkan
dengan ilmu atau filsafat, karena itu yang menjadi standar baik dan buruk itu
adalah akal manusia. Jika dibandingkan dengan moral, maka etika lebih bersifat
teoritis sedangkan moral bersifat praktis. Moral bersifat lokal atau khusus dan
etika bersifat umum.
Moral berasal dari bahasa Latin mores yang
berarti adat kebiasaan. Moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik buruk yang
diterima umum atau masyarakat. Karena itu adat istiadat masyarakat menjadi
standar dalam menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan.
Akhlak berasal dari kata “khuluq” yang artinya
perang atau tabiat. Dan dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata akhlak di
artikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Dapat di definisikan bahwa akhlak
adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah, spontan tanpa
di pikirkan dan di renungkan lagi. Dengan demikian akhlak pada dasarnya adalah
sikap yang melekat pada diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam tingkah
laku atau perbuatan. Apabila perbuatan spontan itu baik menurut akal dan agama,
maka tindakan itu disebut akhlak yang baik atau akhlakul karimah (akhlak
mahmudah). Misalnya jujur, adil, rendah hati, pemurah, santun dan
sebagainya. Sebaliknya apabila buruk disebut akhlak yang buruk atau akhlakul
mazmumah. Misalnya kikir, zalim, dengki, iri hati, dusta dan sebagainya.
Baik dan buruk akhlak didasarkan kepada sumber nilai, yaitu Al Qur’an dan
Sunnah Rasul
Perbedaan antara akhlak, moral dan etika
Perbedaan antara akhlak dengan moral dan etika
dapat dilihat dari dasar penentuan atau standar ukuran baik dan buruk yang
digunakannya. Standar baik dan buruk akhlak berdasarkan Al- Qur’an dan Sunnah
Rasul, sedangkan moral dan etika berdasarkan adat istiadat atau kesepakatan
yang dibuat olehsuatu masyarakat jika masyarakat menganggap suatu perbuatan itu
baik maka baik pulalah nilai perbuatan itu.
Dengan demikian standar nilai moral dan etika
bersifat lokal dan temporal, sedangkan standar akhlak bersifat universal dan
abadi. Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cermin dari apa yang ada dalam
jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan dorongan dari keimanan
seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan dalam prilaku nyata sehari-hari.
Inilah yang menjadi misi diutusnya Rasul sebagaimana disabdakannya :“ Aku
hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.”(Hadits riwayat Ahmad).
Secara umum dapat dikatakan bahwa akhlak yang
baik pada dasarnya adalah akumulasi dari aqidah dan syari’at yang bersatu
secara utuh dalam diri seseorang. Apabila aqidah telah mendorong pelaksanaan
syari’at akan lahir akhlak yang baik, atau dengan kata lain akhlak merupakan
perilaku yang tampak apabila syari’at Islam telah dilaksanakan berdasarkan
aqidah.
Hubungan
Tasawuf dengan Akhlak
Tasawuf adalah proses pendekatan
diri kepada Tuhan (Allah) dengan cara mensucikan hati. Hati yang suci bukan
hanya bisa dekat dengan Tuhan malah dapat melihat Tuhan (al-Ma’rifah). Dalam tasawuf disebutkan bahwa Tuhan Yang Maha Suci
tidak dapat didekati kecuali oleh hati yang suci.
Kalau ilmu akhlak menjelaskan mana
nilai yang baik dan mana yang buruk juga bagaimana mengubah akhlak buruk agar
menjadi baik secara zahiriah yakni dengan cara-cara yang nampak seperti
keilmuan, keteladanan, pembiasaan, dan lain-lain maka ilmu tasawuf menerangkan
bagaimana cara menyucikan hati , agar setelah hatinya suci yang muncul dari
perilakunya adalah akhlak al-karimah. Perbaikan akhlak, menurut ilmu tasawuf,
harus berawal dari penyucian hati.
Dalam kacamata akhlak, tidaklah
cukup iman seseorang hanya dalam bentuk pengakuan, apalagi kalau hanya dalam
bentuk pengetahuan. Yang “kaffah”
adalah iman,ilmu dan amal. Amal itulah yang dimaksud akhlak . Tujuan yang
hendak dicapai dengan ilmu akhlak adalah kesejahteraan hidup manusia di dunia
dan kebahagian hidup di akhirat.
Dari satu segi akhlak adalah buah
dari tasawuf (proses pendekatan diri kepada Tuhan), tapi dari sisi lain akhlak
pun merupakan usaha manusia secara “zahiriyyah”
dan “riyadhah”.
Karakteristik Etika
Islam (Akhlak)
Akhlak
merupakan ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, terpuji atau
tercela menyangkut perilaku manusia yang meliputi perkataan, pikiran dan
perbuatan manusia lahir dan bathin.
Menurut
Ibnu ‘Arabi, di dalam diri manusia ada tiga nafsu,yaitu :
- Nafsu Syahwaniyah, ialah nafsu yang ada pada manusia dan binatang, nafsu
ini cenderung kepada kelezatan jasmaniyah, misalnya makan, minum dan nafsu
seksual. Jika nafsu ini tidak terkendali, manusia menjadi tidak ada
bedanya dengan binatang, sikap hidupnya menjadi hedonisme.
- Nafsu Ghodlobiyah, nafsu ini juga ada pada manusia dan binatang, yaitu
nafsu yang cenderung pada amarah, merusak dan senang menguasai dan
mengalahkan yang lain. Nafsu ini lebih berbahaya daripada nafsu syahwaniyah
jika tidak terkendali, karena dapat mengalahkan akal.
- Nafsu Nathiqah, ialah nafsu yang membedakan manusia dengan binatang.
Dengan nafsu ini manusia mampu berpikir dengan baik, berdzikir, mengambil
hikmah dan memahami fenomena alam. nafsu syahwaniyah ini menjadikan
manusia dapat membedakan yang baik dan yang buruk.
Apabila
manusia dapat mengoptimalkan nafsu nathiqah untuk mengendalikan dan nafsu
ghodlobiyah, manusia akan dapat menjadi lebih unggul dan mulia. Pada
akhirnya lahirlah manusia-manusia yang berakhlakul karimah.
Begitu
pentingnya kedudukan akhlak dalam Islam sehingga Al-Qur’an tidak hanya memuat
ayat-ayat tentang akhlak secara spesifik, melainkan selalu mengaitkan ayat-ayat
yang berbicara tentang hukum dengan masalah akhlak pada ujung ayat. Ayat-ayat
yang berbicara tentang shalat, puasa, haji dan zakat serta mu’amalah selalu
dikaitkan dan diakhiri dengan pesan-pesan perbaikan akhlak. (Al-Baqarah 2 :
183) : “Hai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. Dan
(Al-Baqarah 2 : 197) : “(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah
dimaklumi. Barang siapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka
janganlah dia berkata jorok (rafas), berbuat maksiat dan bertengkar dalam
melakukan ibadah haji…….”
Hamzah
Ya’qub (1996), etika Islam mempunyai karakteristik sebagai berikut :
- Etika Islam mengajarkan dan
menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari
tingkah laku yang buruk.
- Etika Islam menetapkan bahwa
yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan pada
ajaran Allah Swt.
- Etika Islam bersifat universal
dan komprehensif, dapat diterima dan dijadikan pedoman oleh seluruh umat
manusia di segala waktu dan tempat.
- Etika Islam mengatur dan
mengarahkan fithrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan
perbuatan manusia.
Indikator Manusia
Berakhlak
Indikator
manusia berakhlak (husn al-khuluq) adalah tertanamnya iman dalam hati
dan teraplikasikannya dalam perilaku. Sebaliknya manusia yang tidak
berakhlak (su’al-khuluq) adalah manusia yang ada nifaq
(kemunafikan dalam hatinya. Nifaq adalah sikap mendua terhadap Allah. Tidak ada
kesesuaian antara hati dan perbuatan.
Ahli
tasawuf mengemukakan bahwa indikator manusia berakhlak, antara lain adalah :
(1) memiliki budaya malu dalam berinteraksi dengan sesamanya, (2) tidak
menyakiti orang lain, (3) banyak kebaikannya, (4) jujur dalam ucapannya, (5)
tidak banyak bicara tetapi banyak berbuat, (6) penyabar, (7) tenang, (8)
hatinya selalu bersama Allah,(9) suka berterima kasih,(10) ridha terhadap
ketentuan Allah, (11) bijaksana, (12) berhati-hati dalam bertindak, (13) disenangi
teman dan lawan, (14) tidak pendendam, (15) tidak suka mengadu domba,(16)
sedikit makan dan tidur,(17) tidak pelit dan hasad, (18) cinta dan benci
karena Allah.
Di
dalam Al-qur’an banyak ditemukan ciri-ciri manusia yang beriman dan memiliki
akhlak mulia, antara lain :
- Istiqomah atau konsekwen dalam
pendirian (QS. Al-Ahqaf : 13)
- Suka berbuat kebaikan (QS. Al
Baqarah : 112)
- Memenuhi amanah dan berbuat
adil (QS. An-Nisa’ : 58)
- Kreatif dan tawakkal (QS.
Ali-Imron : 160)
- Disiplin waktu dan produktif
(QS. Al-Ashr : 1-4)
- Melakukan sesuatu secara
proporsional dan harmonis (QS. Al-A’raf : 31
Akhlak dan
Aktualisasinya Dalam Kehidupan
Aktualisasi
akhlak adalah bagaimana seseorang dapat mengimplementasikan iman yang dimilikinya
dan mengaplikasikan seluruh ajaran Islam dalam setiap tingkah laku sehari-hari.
Menurut
obyek atau sasarannya terdapat akhlak kepada Allah, akhlak kepada manusia dan
akhlak kepada lingkungan.
- Akhlak kepada Allah
a.
Beribadah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk menyembah-Nya
sesuai dengan perintah-Nya. Seorang muslim beribadah membuktikan ketundukan dan
kepatuhan terhadap perintah Allah. Berakhlak kepada Allah dilakukan melalui
media komunikasi yang telah disediakan, antara lain ibadah shalat.
b.
Berdzikir, yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi,
baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. Berdzikir kepada Allah
melahirkan ketenangan dan ketentraman hati sebagaimana diungkapkan dalam firman
Allah dalam surat Ar-Ra’d 13 : 28, yang artinya sbb: “Ingatlah, dengan
dzikir kepada Allah akan menentramkan hati”.
c.
Berdo’a, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Do’a merupakan inti
ibadah, karena ia merupakan pengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan
manusia, sekaligus pengakuan akan kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu.
Kekuatan do’a dalam ajaran Islam sangat luar biasa, karena ia mampu menembus
kekuatan akal manusia. Oleh karena itu, berusaha dan berdo’a merupakan dua sisi
tugas hidup manusia yang bersatu secara utuh dalam aktivitas hidup setiap
muslim. Orang yang tidak pernah berdo’a adalah orang yang tidak menerima
keterbatasan dirinya sebagai manusia karena itu dipandang sebagai orang yang
sombong, suatu perilaku yang tidak disukai Allah.
d.
Tawakkal
kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya
kepada Allah dan menunggu hasil pekerjaan atau menanti akibat dari suatu
keadaan. Disebutkan dalam surat Hud 11: 123, yang artinya : “Dan kepunyaan
Allah-lah segala rahasia langit dan bumi, dan kepada-Nyalah dikembalikan segala
urusan. Oleh karena itu sembahlah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan
sekali-kali Tuhanmu tidak akan melupakan apa yang kamu kerjakan”. Tawakkal
bukanlah menyerah kepada keadaan, sebaliknya tawakkal mendorong orang untuk
bekerja keras karena Allah tidak menyia-nyiakan kerja manusia. Setelah bekerja
keras apapun hasilnya akan diterimanya sebagai sesuatu yang terbaik bagi
dirinya, tidak kecewa atau putus asa.
e.
Tawadduk
kepada Allah, adalah rendah hati dihadapan
Allah. Mengakui bahwa dirinya rendah dan hina dihadapan Allah Mahakuasa, oleh
karena itu tidak layak kalau hidup dengan angkuh dan sombong, tidak mau
memaafkan orang lain, dan pamrih dalam melaksanakan ibadah kepada Allah, Nabi
bersabda : “Sedekah tidak mengurangi harta dan Allah tidak menambah selain
kehormatan pada seseorang yang memberi maaf. Dan tidak seorang yang tawadduk
secara ikhlas karena Allah,melainkan dia dimuliakan Allah”. (Hadits riwayat
Muslim dan Abu Hurairah) Oleh karena itu tidak ada alasan bagi manusia untuk
tidak bertawadduk kepada Allah karena manusia diciptakan dari bahan yang hina
nilainya, yaitu tanah.
2. Akhlak kepada manusia
a.
Akhlak
kepada diri sendiri
1) Sabar, adalah perilaku seseorang terhadap dirinya
sendiri sebagai hasil dari pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap terhadap
apa yang menimpanya. Sabar diungkapkan ketika melaksanakan perintah, menjauhi
larangan, dan ketika ditimpa musibah dari Allah.
Sabar
melaksanakan perintah adalah sikap menerima dan melaksanakan segala perintah
Allah dengan ikhlas. Sedangkan sabar dalam menjauhi larangan Allah adalah
berjuang mengendalikan diri untuk meninggalkan (larangan) itu. Sabar terhadap
musibah adalah menerima musibah apa saja yang menimpa dengan tetap berbaik
sangka kepada Allah serta tetap yakin bahwa ada hikmah dalam setiap musibah
itu. Sabar terhadap musibah merupakan gambaran jiwa yang tenang dan keyakinan
yang tinggi terhadap Allah, karena itu pantaslah kalau Allah menghapus
dosa-dosanya, sebagaimana sabda Nabi, yang artinya : “Tidak ada seorang muslim
yang terkena gangguan, baik berupa duri atau lebih dari itu, melainkan akan
menghapus kesalahannya dan menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana gugurnya daun
dari pohon” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
2)
Syukur adalah sikap berterima kasih
atas`pemberian nikmat Allah yang tidak bisa terhitung banyaknya. Syukur
diungkapkan dalam bentuk ucapan dan memuji Allah dengan bacaan hamdalah,
sedangkan syukur dengan perbuatan dilakukan dengan menggunakan dan memanfaatkan
nikmat Allah sesuai dengan keharusannya, seperti bersyukur diberi penglihatan
dengan menggunakannya untuk membaca ayat-ayat Allah, baik yang tersurat dalam
Al-qur’an maupun yang tersirat pada alam semesta.
Orang
yang selalu bersyukur terhadap nikmat Allah akan ditambah nikmat yang
diterimanya sebagaimana firman-Nya, yang artinya : “Kalau kalian bersyukur,
tentu Aku akan menambah (nikmat) untukmu dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),
maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (Srt Ibrahim :7).
3) Tawadduk, yaitu rendah hati, selalu menghargai
siapa saja yang dihadapinya, orang tua, muda, kaya atau miskin. Sikap tawadduk
lahir dari kesadaran akan hakikat dirinya sebagai manusia yang lemah dan serba
terbatas yang tidak layak untuk bersikap sombong dan angkuh di muka bumi, Allah
berfirman, artinya : “Janganlah kamu palingkan mukamu dari manusia dan jangan
kamu berjalan di muka bumi dengan sombong. (QS. Luqman 31 : 18)
b.
Akhlak
Kepada Orangtua
Akhlak
kepada kedua orang orangtua disebut juga dengan birrul walidain, Allah
memerintahkan kepada kita agar senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua,
sebagaimana firman-Nya dalam surat Luqman : 14, yang artinya : “ Dan Kami
perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada ibu bapaknya, ibunya yang
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu”.
Berbuat
baik kepada ibu bapak bukan saja ketika mereka hidup, tetapi walaupun mereka
telah meninggal dunia kita tetap harus berbuat baik kepada keduanya dengan cara
mendo’akan dan memintakan ampunan untuk mereka kepada Allah, menepati janji
mereka yang belum terpenuhi, meneruskan silaturrahim dengan sahabat-sahabat
mereka sewaktu masih hidup, dan seterusnya.
c.
Akhlak
Kepada Keluarga
Akhlak
terhadap keluarga adalah mengembangkan kasih sayang di antara anggota keluarga
yang diungkapkan dalam bentuk komunikasi. Apabila kasih sayang telah mendasari
komunikasi antara orang tua dengan anak, maka akan lahir wibawa pada orang tua.
Demikian sebaliknya, akan lahir kepercayaan orang tua pada anak. Oleh karena
itu kasih sayang harus menjadi muatan utama dalam komunikasi semua pihak dalam
keluarga.
Pendidikan
yang ditanamkan pada keluarga akan menjadi ukuran utama bagi anak dalam
menghadapi pengaruh yang datang kepada mereka di luar rumah. Dengan dibekali
nilai-nilai dari rumah, anak-anak dapat menjauh segala pengaruh tidak baik yang
datang kepadanya. Sebaliknya anak-anak yang tidak dibekali oleh nilai-nilai
dari rumah, jiwanya kosong dan akan mudah sekali terpengaruh oleh lingkungan di
luar rumah.
Nilai
essensial yang dididikkan kepada anak dalam keluarga, yang pertama adalah
aqidah, yaitu keyakinan tentang eksistensi Allah. Apabila keyakinan itu sudah
tertanam sejak dini, maka kemanapun akan pergi dan apapun yang dilakukannya
akan hati-hati dan waspada karena ia akan selalu merasa diawasi oleh Allah.
Seperti yang diajarkan oleh Luqman kepada anaknya, yang dimuat dalam Al-qur’an
surat Luqman : 13, yang artinya : “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata pada
anaknya : “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
3.
Akhlak Kepada Lingkungan Hidup
Misi
agama Islam adalah mengembangkan rahmat, bukan hanya kepada manusia tetapi juga
kepada alam dan lingkungan hidup, sebagaimana firman Allah dalam surat Al
Anbiya, 21 : 107, artinya : “Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan
untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”.
Misi
tersebut tidak terlepas dari tujuan diangkatnya manusia sebagai khalifah di
muka bumi, yaitu sebagai wakil Allah yang bertugas memakmurkan,mengelola, dan
melestarikan alam. Berakhlak kepada lingkungan hidup adalah menjalin dan mengembangkan
hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya.
Alam
dan lingkungan yang terkelola dengan baik dapat memberi manfaat, sebaliknya
jika alam yang dibiarkan atau hanya diambil manfaatnya saja akan mendatangkan
malapetaka bagi manusia. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Rum, 30 : 41),
yang artinya : “ Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar”.
Kerusakan ekosistem di lautan dan daratan terjadi akibat manusia tidak sadar,
sombong, egois, rakus, dan angkuh. Perbuatan ini disebut dengan akhlak yang
tidak terpuji (al akhlaqul madzmumah).
- Al Ghazali, Abu Hamid, Ihya’ Ulumuddin, Beirut; Dar al Fikr, t. th.
- Departemen Agama RI. 2001. Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta; PT Bulan Bintang.
- Ishak, Sholeh. 1990. Akhlak dan Tasawwuf. Bandung; IAIN Sunan Gunung Jati.
- Jatmika, Rahmat. 1990. Sistem Etika Islam, Jakarta; Panjimas
- Nurdin Muslim, 1995. Moral dan Kognisi Islam, Bandung; Alfa beta.
- Tim Dosen PAI, 2012. Pendidikan Agama Islam, Makassar: Universitas Negeri Makassar.