Senin, 24 November 2014

Materi IX Etika, Moral dan Akhlak



PENDAHULUAN

Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cermin dari apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan dorongan dari keimanan seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan dalam perilaku nyata sehari-hari.
Pada saat ini, kehidupan semakin sulit di mana kebutuhan semakin kompleks namun sarana pemenuhan kenutuhan terbatas. Ada sebagian orang yang belum dapat memenuhi kebutuhannya, sehingga menyebabkan beberapa dari mereka menghalalkan segala cara untuk bisa memenuhi kebutuhanya. Terutama pada saat ini banyak orang beranggapan bahwa harta adalah prioritas utama
Akhlak tercela tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja namun juga terjadi pada sebagian besar para remaja. Remaja sering dikaitkan dengan masalah. Banyak pengaruh serta tekanan dari luar yang kebanyakan menjerumuskan kepada hal-hal yang negatif. Apabila sudah terpedaya pada hal-hal yang negatif, akhlak remaja mudah rusak sehingga menimbulkan berbagai masalah. Padahal pemuda adalah generasi penerus bangsa, namun pada kenyatanya sebagian besar remaja pada saat ini sudah terjerumus dalam hal negatif, seperti seks bebas, narkoba, dan lain-lain.

Pengertian Etika, Moral,dan Akhlak

Etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu, Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat, karena itu yang menjadi standar baik dan buruk itu adalah akal manusia. Jika dibandingkan dengan moral, maka etika lebih bersifat teoritis sedangkan moral bersifat praktis. Moral bersifat lokal atau khusus dan etika bersifat umum.
Moral berasal dari bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik buruk yang diterima umum atau masyarakat. Karena itu adat istiadat masyarakat menjadi standar dalam menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan.
Akhlak berasal dari kata “khuluq” yang artinya perang atau tabiat. Dan dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata akhlak di artikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Dapat di definisikan bahwa akhlak adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah, spontan tanpa di pikirkan dan di renungkan lagi. Dengan demikian akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Apabila perbuatan spontan itu baik menurut akal dan agama, maka tindakan itu disebut akhlak yang baik atau akhlakul karimah (akhlak mahmudah). Misalnya jujur, adil, rendah hati, pemurah, santun dan sebagainya. Sebaliknya apabila buruk disebut akhlak yang buruk atau akhlakul mazmumah. Misalnya kikir, zalim, dengki, iri hati, dusta dan sebagainya. Baik dan buruk akhlak didasarkan kepada sumber nilai, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasul

Perbedaan antara akhlak, moral dan etika

Perbedaan antara akhlak dengan moral dan etika dapat dilihat dari dasar penentuan atau standar ukuran baik dan buruk yang digunakannya. Standar baik dan buruk akhlak berdasarkan Al- Qur’an dan Sunnah Rasul, sedangkan moral dan etika berdasarkan adat istiadat atau kesepakatan yang dibuat olehsuatu masyarakat jika masyarakat menganggap suatu perbuatan itu baik maka baik pulalah nilai perbuatan itu.
Dengan demikian standar nilai moral dan etika bersifat lokal dan temporal, sedangkan standar akhlak bersifat universal dan abadi. Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cermin dari apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan dorongan dari keimanan seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan dalam prilaku nyata sehari-hari. Inilah yang menjadi misi diutusnya Rasul sebagaimana disabdakannya :“ Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.”(Hadits riwayat Ahmad).
Secara umum dapat dikatakan bahwa akhlak yang baik pada dasarnya adalah akumulasi dari aqidah dan syari’at yang bersatu secara utuh dalam diri seseorang. Apabila aqidah telah mendorong pelaksanaan syari’at akan lahir akhlak yang baik, atau dengan kata lain akhlak merupakan perilaku yang tampak apabila syari’at Islam telah dilaksanakan berdasarkan aqidah.

Hubungan Tasawuf dengan Akhlak
Tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada Tuhan (Allah) dengan cara mensucikan hati. Hati yang suci bukan hanya bisa dekat dengan Tuhan malah dapat melihat Tuhan (al-Ma’rifah). Dalam tasawuf disebutkan bahwa Tuhan Yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh hati yang suci.
Kalau ilmu akhlak menjelaskan mana nilai yang baik dan mana yang buruk juga bagaimana mengubah akhlak buruk agar menjadi baik secara zahiriah yakni dengan cara-cara yang nampak seperti keilmuan, keteladanan, pembiasaan, dan lain-lain maka ilmu tasawuf menerangkan bagaimana cara menyucikan hati , agar setelah hatinya suci yang muncul dari perilakunya adalah akhlak al-karimah. Perbaikan akhlak, menurut ilmu tasawuf, harus berawal dari penyucian hati.
Dalam kacamata akhlak, tidaklah cukup iman seseorang hanya dalam bentuk pengakuan, apalagi kalau hanya dalam bentuk pengetahuan. Yang “kaffah” adalah iman,ilmu dan amal. Amal itulah yang dimaksud akhlak . Tujuan yang hendak dicapai dengan ilmu akhlak adalah kesejahteraan hidup manusia di dunia dan kebahagian hidup di akhirat.
Dari satu segi akhlak adalah buah dari tasawuf (proses pendekatan diri kepada Tuhan), tapi dari sisi lain akhlak pun merupakan usaha manusia secara “zahiriyyah”  dan “riyadhah”.

Karakteristik Etika Islam (Akhlak)

Akhlak merupakan ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, terpuji atau tercela menyangkut perilaku manusia yang meliputi perkataan, pikiran dan perbuatan manusia lahir dan bathin.
Menurut Ibnu ‘Arabi, di dalam diri manusia ada tiga nafsu,yaitu :
  1. Nafsu Syahwaniyah, ialah nafsu yang ada pada manusia dan binatang, nafsu ini cenderung kepada kelezatan jasmaniyah, misalnya makan, minum dan nafsu seksual. Jika nafsu ini tidak terkendali, manusia menjadi tidak ada bedanya dengan binatang, sikap hidupnya menjadi hedonisme.
  2. Nafsu Ghodlobiyah, nafsu ini juga ada pada manusia dan binatang, yaitu nafsu yang cenderung pada amarah, merusak dan senang menguasai dan mengalahkan yang lain. Nafsu ini lebih berbahaya daripada nafsu syahwaniyah jika tidak terkendali, karena dapat mengalahkan akal.
  3.  Nafsu Nathiqah, ialah nafsu yang membedakan manusia dengan binatang. Dengan nafsu ini manusia mampu berpikir dengan baik, berdzikir, mengambil hikmah dan memahami fenomena alam. nafsu syahwaniyah ini menjadikan manusia dapat membedakan yang baik dan yang buruk.
Apabila manusia dapat mengoptimalkan nafsu nathiqah untuk mengendalikan dan nafsu ghodlobiyah, manusia akan dapat menjadi lebih unggul dan mulia. Pada akhirnya lahirlah manusia-manusia yang berakhlakul karimah.
Begitu pentingnya kedudukan akhlak dalam Islam sehingga Al-Qur’an tidak hanya memuat ayat-ayat tentang akhlak secara spesifik, melainkan selalu mengaitkan ayat-ayat yang berbicara tentang hukum dengan masalah akhlak pada ujung ayat. Ayat-ayat yang berbicara tentang shalat, puasa, haji dan zakat serta mu’amalah selalu dikaitkan dan diakhiri dengan pesan-pesan perbaikan akhlak. (Al-Baqarah 2 : 183) : “Hai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. Dan (Al-Baqarah 2 : 197) : “(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barang siapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafas), berbuat maksiat dan bertengkar dalam melakukan ibadah haji…….”
Hamzah Ya’qub (1996), etika Islam mempunyai karakteristik sebagai berikut :
  1. Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
  2. Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan pada ajaran Allah Swt.
  3. Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima dan dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat.
  4. Etika Islam mengatur dan mengarahkan fithrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia.
Indikator Manusia Berakhlak

Indikator manusia berakhlak (husn al-khuluq) adalah tertanamnya iman dalam hati dan teraplikasikannya  dalam perilaku. Sebaliknya manusia yang tidak berakhlak (su’al-khuluq) adalah manusia yang ada nifaq (kemunafikan dalam hatinya. Nifaq adalah sikap mendua terhadap Allah. Tidak ada kesesuaian antara hati dan perbuatan.
Ahli tasawuf mengemukakan bahwa indikator manusia berakhlak, antara lain adalah : (1) memiliki budaya malu dalam berinteraksi dengan sesamanya, (2) tidak menyakiti orang lain, (3) banyak kebaikannya, (4) jujur dalam ucapannya, (5) tidak banyak bicara tetapi banyak berbuat, (6) penyabar, (7) tenang, (8) hatinya selalu bersama Allah,(9)  suka berterima kasih,(10) ridha terhadap ketentuan Allah, (11) bijaksana, (12) berhati-hati dalam bertindak, (13) disenangi teman dan lawan, (14) tidak pendendam, (15) tidak suka mengadu domba,(16)  sedikit makan dan tidur,(17)  tidak pelit dan hasad, (18) cinta dan benci karena Allah.
Di dalam Al-qur’an banyak ditemukan ciri-ciri manusia yang beriman dan memiliki akhlak mulia, antara lain :
  1. Istiqomah atau konsekwen dalam pendirian (QS. Al-Ahqaf : 13)
  2. Suka berbuat kebaikan (QS. Al Baqarah : 112)
  3. Memenuhi amanah dan berbuat adil (QS. An-Nisa’ : 58)
  4. Kreatif dan tawakkal (QS. Ali-Imron : 160)
  5. Disiplin waktu dan produktif (QS. Al-Ashr : 1-4)
  6. Melakukan sesuatu secara proporsional dan harmonis (QS. Al-A’raf : 31
Akhlak dan Aktualisasinya Dalam Kehidupan

Aktualisasi akhlak adalah bagaimana seseorang dapat mengimplementasikan iman yang dimilikinya dan mengaplikasikan seluruh ajaran Islam dalam setiap tingkah laku sehari-hari.
Menurut obyek atau sasarannya terdapat akhlak kepada Allah, akhlak kepada manusia dan akhlak kepada lingkungan.
  1. Akhlak kepada Allah
a.       Beribadah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk menyembah-Nya sesuai dengan perintah-Nya. Seorang muslim beribadah membuktikan ketundukan dan kepatuhan terhadap perintah Allah. Berakhlak kepada Allah dilakukan melalui media komunikasi yang telah disediakan, antara lain ibadah shalat.
b.      Berdzikir, yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. Berdzikir kepada Allah melahirkan ketenangan dan ketentraman hati sebagaimana diungkapkan dalam firman Allah  dalam surat Ar-Ra’d 13 : 28, yang artinya sbb: “Ingatlah, dengan dzikir kepada Allah akan menentramkan hati”.
c.       Berdo’a, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Do’a merupakan inti ibadah, karena ia merupakan pengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia, sekaligus pengakuan akan kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu. Kekuatan do’a dalam ajaran Islam sangat luar biasa, karena ia mampu menembus kekuatan akal manusia. Oleh karena itu, berusaha dan berdo’a merupakan dua sisi tugas hidup manusia yang bersatu secara utuh dalam aktivitas hidup setiap muslim. Orang yang tidak pernah berdo’a adalah orang yang tidak menerima keterbatasan dirinya sebagai manusia karena itu dipandang sebagai orang yang sombong, suatu perilaku yang tidak disukai Allah.
d.      Tawakkal kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan menunggu hasil pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan. Disebutkan dalam surat Hud 11: 123, yang artinya : “Dan kepunyaan Allah-lah segala rahasia langit dan bumi, dan kepada-Nyalah dikembalikan segala urusan. Oleh karena itu sembahlah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak akan melupakan apa yang kamu kerjakan”. Tawakkal bukanlah menyerah kepada keadaan, sebaliknya tawakkal mendorong orang untuk bekerja keras karena Allah tidak menyia-nyiakan kerja manusia. Setelah bekerja keras apapun hasilnya akan diterimanya sebagai sesuatu yang terbaik bagi dirinya, tidak kecewa atau putus asa.
e.       Tawadduk kepada Allah, adalah rendah hati dihadapan Allah. Mengakui bahwa dirinya rendah dan hina dihadapan Allah Mahakuasa, oleh karena itu tidak layak kalau hidup dengan angkuh dan sombong, tidak mau memaafkan orang lain, dan pamrih dalam melaksanakan ibadah kepada Allah, Nabi bersabda : “Sedekah tidak mengurangi harta dan Allah tidak menambah selain kehormatan pada seseorang yang memberi maaf. Dan tidak seorang yang tawadduk secara ikhlas karena Allah,melainkan dia dimuliakan Allah”. (Hadits riwayat Muslim dan Abu Hurairah) Oleh karena itu tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak bertawadduk kepada Allah karena manusia diciptakan dari bahan yang hina nilainya, yaitu tanah.

2.  Akhlak kepada manusia
a.       Akhlak kepada diri sendiri
1) Sabar, adalah perilaku seseorang terhadap dirinya sendiri sebagai hasil dari pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap terhadap apa yang menimpanya. Sabar diungkapkan ketika melaksanakan perintah, menjauhi larangan, dan ketika ditimpa musibah dari Allah.
Sabar melaksanakan perintah adalah sikap menerima dan melaksanakan segala perintah Allah dengan ikhlas. Sedangkan sabar dalam menjauhi larangan Allah adalah berjuang mengendalikan diri untuk meninggalkan (larangan) itu. Sabar terhadap musibah adalah menerima musibah apa saja yang menimpa dengan tetap berbaik sangka kepada Allah serta tetap yakin bahwa ada hikmah dalam setiap musibah itu. Sabar terhadap musibah merupakan gambaran jiwa yang tenang dan keyakinan yang tinggi terhadap Allah, karena itu pantaslah kalau Allah menghapus dosa-dosanya, sebagaimana sabda Nabi, yang artinya : “Tidak ada seorang muslim yang terkena gangguan, baik berupa duri atau lebih dari itu, melainkan akan menghapus kesalahannya dan menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana gugurnya daun dari pohon” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
2) Syukur adalah sikap berterima kasih atas`pemberian nikmat Allah yang tidak bisa terhitung banyaknya. Syukur diungkapkan dalam bentuk ucapan dan memuji Allah dengan bacaan hamdalah, sedangkan syukur dengan perbuatan dilakukan dengan menggunakan dan memanfaatkan nikmat Allah sesuai dengan keharusannya, seperti bersyukur diberi penglihatan dengan menggunakannya untuk membaca ayat-ayat Allah, baik yang tersurat dalam Al-qur’an maupun yang tersirat pada alam semesta.
Orang yang selalu bersyukur terhadap nikmat Allah akan ditambah nikmat yang diterimanya sebagaimana firman-Nya, yang artinya : “Kalau kalian bersyukur, tentu Aku akan menambah (nikmat) untukmu dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (Srt Ibrahim :7).
3) Tawadduk, yaitu rendah hati, selalu menghargai siapa saja yang dihadapinya, orang tua, muda, kaya atau miskin. Sikap tawadduk lahir dari kesadaran akan hakikat dirinya sebagai manusia yang lemah dan serba terbatas yang tidak layak untuk bersikap sombong dan angkuh di muka bumi, Allah berfirman, artinya : “Janganlah kamu palingkan mukamu dari manusia dan jangan kamu berjalan di muka bumi dengan sombong. (QS. Luqman 31 : 18)

b.      Akhlak Kepada Orangtua
Akhlak kepada kedua orang orangtua disebut juga dengan birrul walidain, Allah memerintahkan kepada kita agar senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua, sebagaimana firman-Nya dalam surat Luqman : 14, yang artinya : “ Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada ibu bapaknya, ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.
Berbuat baik kepada ibu bapak bukan saja ketika mereka hidup, tetapi walaupun mereka telah meninggal dunia kita tetap harus berbuat baik kepada keduanya dengan cara mendo’akan dan memintakan ampunan untuk mereka kepada Allah, menepati janji mereka yang belum terpenuhi, meneruskan silaturrahim dengan sahabat-sahabat mereka sewaktu masih hidup, dan seterusnya.

c.       Akhlak Kepada Keluarga
Akhlak terhadap keluarga adalah mengembangkan kasih sayang di antara anggota keluarga yang diungkapkan dalam bentuk komunikasi. Apabila kasih sayang telah mendasari komunikasi antara orang tua dengan anak, maka akan lahir wibawa pada orang tua. Demikian sebaliknya, akan lahir kepercayaan orang tua pada anak. Oleh karena itu kasih sayang harus menjadi muatan utama dalam komunikasi semua pihak dalam keluarga.
Pendidikan yang ditanamkan pada keluarga akan menjadi ukuran utama bagi anak dalam menghadapi pengaruh yang datang kepada mereka di luar rumah. Dengan dibekali nilai-nilai dari rumah, anak-anak dapat menjauh segala pengaruh tidak baik yang datang kepadanya. Sebaliknya anak-anak yang tidak dibekali oleh nilai-nilai dari rumah, jiwanya kosong dan akan mudah sekali terpengaruh oleh lingkungan di luar rumah.
Nilai essensial yang dididikkan kepada anak dalam keluarga, yang pertama adalah aqidah, yaitu keyakinan tentang eksistensi Allah. Apabila keyakinan itu sudah tertanam sejak dini, maka kemanapun akan pergi dan apapun yang dilakukannya akan hati-hati dan waspada karena ia akan selalu merasa diawasi oleh Allah. Seperti yang diajarkan oleh Luqman kepada anaknya, yang dimuat dalam Al-qur’an surat Luqman : 13, yang artinya : “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata pada anaknya : “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.

3. Akhlak Kepada Lingkungan Hidup

Misi agama Islam adalah mengembangkan rahmat, bukan hanya kepada manusia tetapi juga kepada alam dan lingkungan hidup, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Anbiya, 21 : 107, artinya : “Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”.
Misi tersebut tidak terlepas dari tujuan diangkatnya manusia sebagai khalifah di muka bumi, yaitu sebagai wakil Allah yang bertugas memakmurkan,mengelola, dan melestarikan alam. Berakhlak kepada lingkungan hidup adalah menjalin dan mengembangkan hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya.
Alam dan lingkungan yang terkelola dengan baik dapat memberi manfaat, sebaliknya jika alam yang dibiarkan atau hanya diambil manfaatnya saja akan mendatangkan malapetaka bagi manusia. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Rum, 30 : 41), yang artinya : “ Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar”.
Kerusakan ekosistem di lautan dan daratan terjadi akibat manusia tidak sadar, sombong, egois, rakus, dan angkuh. Perbuatan ini disebut dengan akhlak yang tidak terpuji (al akhlaqul madzmumah).

Daftar Pustaka
  • Al Ghazali, Abu Hamid, Ihya’ Ulumuddin, Beirut; Dar al Fikr, t. th.
  • Departemen Agama RI. 2001. Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta; PT Bulan Bintang.
  • Ishak, Sholeh. 1990. Akhlak dan Tasawwuf. Bandung; IAIN Sunan Gunung Jati.
  • Jatmika, Rahmat. 1990. Sistem Etika Islam, Jakarta; Panjimas
  • Nurdin Muslim, 1995. Moral dan Kognisi Islam, Bandung; Alfa beta.
  • Tim Dosen PAI, 2012. Pendidikan Agama Islam, Makassar: Universitas Negeri Makassar.

Minggu, 09 November 2014

Materi VII Mawarits


A. PENGERTIAN
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata mirats (مراث), yang merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i.

B. HUKUM KEWARISAN
Dalam hukum kewarisan terdapat dua hal, yaitu hukum membagi harta warisan menurut ketentuan syari’at Islam dan hukum mempelajari dan mengajarkannya.

1. Hukum membagi harta warisan menurut ketentuan syari’at Islam
Bagi umat Islam melaksanakan peraturan-peraturan syari’at yang telah ditentukan nash yang sharih adalah suatu keharusan, selama peraturan tersebut tidak ditunjuk oleh dalil nash yang lain yang menunjukkan ketidak-wajibannya.
Dalam hal ini kita dapat merujuk nash al-Quran maupun al-Hadis yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu :
a. Surat an-Nisa’ ayat 13 dan 14 :

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَ‌ٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١٣﴾
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar. (QS. An-Nisa’: 13).

وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ ﴿١٤﴾
Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, Allah bakal memasukkannya ke dalam neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S. An-Nisa’: 14).

b. Hadis Rasulullah SAW.
Bagilah harta (warisan) antara ahli-ahli waris menurut kitabullah (al-Quran). (H.R. Muslim dan Abu Dawud).
Berdasarkan nash al-Quran dan al-Hadis tersebut, maka diisyaratkan keharusan (kewajiban) membagi harta warisan menurut ketentuan al-Quran dan al-Hadis. Tetapi selain pemindahan hak kepemilikan melalui kewarisan, adanya ketentuan wasiat dan hibah. Sehingga terhadap orang lain yang tidak mendapatkan harta melalui kewarisan dapat diberikan melalui wasiat atau hibah. Demikian pula bagi ahli waris yang merasa tidak membutuhkan dan tidak mau menerima pembagian harta warisan, dapat memberikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan melalui hibah.

2. Hukum mempelajari dan mengajarkannya.
Islam mengatur ketentuan pembagian harta waris secara rinci agar tidak terjadinya perselisihan dan pertikaian antara ahli waris. Hal tersebut seringkali terjadi jika seseorang meninggal dunia, menimbulkan perselisihan bagi ahli warisnya dalam pembagian harta, bahkan tidak jarang terjadi pertikaian. Seabagai antisipasi hal tersebut, maka ditentukan secara rinci tentang pembagian harta warisan sebagai pedoman.
Dengan telah ditetapkannya pembagian harta warisan dalam Islam, maka harus ada orang yang mempelajari dan mengajarkannya. Sehingga orang-orang yang telah mempelajarinya dapat merealisasikan didalam pembagian harta warisan bagi umat Islam.
Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqih mawaris adalah wajib kifayah. Dalam artian apabila telah ada sebagian orang yang melakukannya (memenuhinya) maka dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Tetapi apabila tidak ada seorang pun yang melaksanakan kewajiban tersebut, maka semua orang menanggung dosa.
Dalam hadis Nabi dinyatakan ; Pelajari oleh kalian al-Quran dan ajarkanlah kepada orang lain, dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah orang yang bakal terengut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorang pun yang dapat memberikan fatwa kepada mereka. (H.R. Ahmad, Nasai dan al-Daruqutny).
Berdasarkan hadis tersebut, ditempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh dengan perintah mempelajari dan mengajarkan al-Quran, menandakan betapa pentingnya ilmu faraidh tersebut. Hal tersebut sebagai upaya mewujudkan pembagian warisan yang berkeadilan dan menurut ketentuan syariat Islam. Terlebih kecenderungan manusia yang materialistik, maka ketentuan pembagian warisan tersebut sangat penting agar terhindarnya konflik dan perselisihan.

C. KETENTUAN TENTANG HARTA BENDA SEBELUM PEMBAGIAN WARISAN

Sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya, hendaknya dikeluarkan untuk keperluan berikut.

1.      Biaya pengurusan jenazah; seperti membeli kain kafan, menyewa ambulans, dan biaya pemakaman. Bahkan, bisa digunakan untuk biaya perawatan waktu sakit.
2.      Utang; Jika orang yang meninggal memiliki utang, hendaknya utangnya dilunasi dengan harta peninggalannya.
3.      Zakat; Jika harta warisan belum dizakati, padahal sudah memenuhi syaratsyarat wajibnya, hendaknya harta itu dizakati dahulu scbelum dibagibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
4.      Wasiat; Wasiat adalah pesan si pewaris sebelum meninggal dunia agar sebagian harta peninggalannya, kelak setelah ia meninggal dunia, diserahkan kepada seseorang atau suatu lembaga (dakwah atau sosial) Islam. Wasiat seperti itu harus dipenuhi dengan syarat jumlah harta peninggalan yang diwasiatkannya tidak lebih dari sepertiga harta peninggalannya. Kecuali, kalau disetujui oleh seluruh Ahli waris. Rasulullah SAW. bersabda yang artinya: "Berwasiat sepertiga harta itu sudah banyak, sesungguhnya jika ahli waris itu kamu tinggalkan dalam keadaan mampu, itu lebih baik, daripada meninggalkan mereka dalam keadaan papa, menadahkan tangan kepada manusia untuk meminta-minta." (HR. Bukhari-Muslim).

Selain itu, tidak dibenarkan berwasiat kepada ahli waris, seperti anak kandung dan kedua orang tua karena ahli waris tersebut sudah tentu akan mendapat bagian warisan yang telah ditetapkan agama. Berwasiat kepada ahli waris bisa dilakukan apabila disetujui oleh ahli waris yang lain. Rasulullah saw. Bersabda yang artinya "Tidak boleh berwasiat bagi ahli waris, kecuali bila ahli waris yang lain menyetujuinya." (HR. Daruqutni)
Apabila harta warisan sudah dikeluarkan untuk empat macam keperluan di atas, barulah harta warisan itu dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.

D. SEBAB-SEBAB ADANYA KEWARISAN (ASBAAB AL-IRTS)
Dalam kewarisan Islam, sebab-sebab adanya hak kewarisan ada tiga, yaitu; hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan dan hubungan karena sebab al-wala’.

1. Hubungan Kekerabatan
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab memperoleh hak mewarisi yang terkuat, karena kekerabatan termasuk unsure causalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan perkawinan, jika perkawinan telah putus (cerai) maka dapat hilang.
Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :

لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا ﴿٧﴾
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’ : 7).
Demikian pula dalam surat al-Anfal ayat 75 : …Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. (Q.S. Al-Anfal : 75).

2. Hubungan Perkawinan
Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling mewarisi adalah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi. Dalam hal ini, terpenuhinya rukun dan syarat secara agama. Tentang syarat administratif masih terdapat perbedaan pendapat. Hukum perkawinan di Indonesia, memberikan kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan bukan secara administrasi (hukum positif, Pen.) tetapi ketentuan agama.
Di sebagian negara muslim, seperti Pakistan, perkawinan yang tidak dicatat dapat dihukum penjara atau denda atau bahkan kedua-duanya. Di Indonesia hendaknya ini menjadi perhatian, karena perkawinan yang tidak terpenuhinya secara administratif (hukum positif) akan dapat menimbulkan kemudlaratan, seperti penyangkalan terhadap suatu perkawinan karena tidak adanya bukti tertulis (secara administratif).
Berkaitan dengan perkawinan yang menyebabkan saling mewarisi adalah perkawinan yang masih utuh atau dianggap masih utuh. Yang dimaksud dengan perkawinan yang dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan telah diputus dengan thalak raj’i (cerai pertama dan kedua) dan masa iddah raj’i bagi seorang isteri belum selesai. Perkawinan tersebut dianggap masih utuh karena selama masa iddah, suami berhak penuh merujuk isterinya tanpa memerlukan kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin baru dan tanpa menghadirkan dua orang saksi dan wali. Sehingga isteri yang sedang berada dalam masa iddah talak raj’i, apabila suaminya meninggal ia berhak mewarisi harta suaminya. Demikian pula sebaliknya, suami berhak mewarisi harta isterinya.

3. Hubungan Karena Sebab Al-Wala’
Wala’ dalam pengertian syariat adalah ;
a)      Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak emansipasi) budak.
b)      Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain.
Wala’ yang pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah (disebabkan karena adanya sebab telah membebaskan budak) Orang yang membebaskan budak disebut mu’tiq jika laki-laki dan mu’tiqah jika perempuan. Sedangkan wala’ yang kedua disebut dengan walaul-muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian. Misalnya seseorang berkata kepada orang lain; wahai fulan engkau dapat mewarisi hartaku bila aku telah mati dan dapat mengambil diyat (denda) untukku bila aku dilukai seseorang, demikian pula aku dapat mewarisi hartamu dan mengambil diyat karenamu. Kemudian orang lain tersebut menerima perjanjian itu. Pihak pertama disebut al-mawali dan pihak kedua disebut al-mawala.
Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6 (seperenam) dari harta peninggalan. Terhadap wala al-muwalah menurut jumhur ulama demikian pula Undang-undang Kewarisan Mesir telah dinasakah melalui surat al-Anfal ayat 75 :

وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٧٥﴾
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

E. SEBAB-SEBAB TERHALANG MEMPEROLEH WARISAN (MAWAANI’ AL-IRTS)
Hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang terhalang untuk mewarisi ( موانع الارث ) ada tiga macam, yaitu : (Perbudakan, Pembunuhan, Berlainan Agama)

1. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang untuk mewarisi berdasarkan adanya petunjuk umum yang menyatakan budak tidak memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum. Hal ini berdasarkan surat al-Nahl ayat 75 :

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا عَبْدًا مَّمْلُوكًا لَّا يَقْدِرُ عَلَىٰ شَيْءٍ
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun…(Q.S. Al-Nahl : 75).

Mafhum ayat tersebut menjelaskan bahwa budak itu tidak cakap untuk mengurusi hak milik kebendaan dengan jalan apa saja. Hak-hak kebendaannya sepenuhnya berada ditangan tuannya. Dan status kekerabatan dengan keluarganya sudah putus. Sebagaimana dinyatakan oleh Drs. Fatchur Rahman, bahwa budak tidak dapat mewarisi karena :
a. Ia dipandang tidak cakap mengurusi harta milik;
b. Status kekeluargaannya terhadap kerabat-kerabatnya sudah putus dan karenanya ia sudah menjadi keluarga asing (bukan keluarganya).
Menurut Ali Ahmad Al-Juejawy, budak itu tidak dapat mewarisi harta peninggalan tuannya bila tuannya meninggal, disebabkan budak itu sendiri berstatus sebagai harta milik bagi tuannya.
Kitab Undang-undang Kewarisan Mesir tidak memuat pasal tentang penghalang mewarisi karena perbudakan, karena di negara tersebut perbudakan dilarang oleh undang-undang.
Hal tersebut merupakan hal yang sangat positif, karena pada hakikatnya Islam tidak menghendaki adanya perbudakan. Hal tersebut dapat kita perhatikan dari gencarnya Islam menghapuskan perbudakan dengan adanya hukuman yang diberikan kepada seseorang berupa pembebasan budak. Budak adalah tetap manusia yang mempunyai harkat dan martabat, hanya karena statusnya yang tidak memiliki kecakapan apapun. Hal tersebut terjadi karena masa jahiliyah (sebelum Islam datang) budak diposisikan dengan cara yang tidak terhormat, dapat diperlakukan apa saja dan dianggap seperti barang/harta. Sehingga ajaran Islam yang sangat memperhatikan keadaan dan kondisi suatu masyarakat, tidak dengan serta merta (secara totalitas) menghapuskan tradisi tersebut. Proses tasyri’ yang sedemikian dapat juga kita perhatikan dari proses pengharaman khamar (minuman keras) yang dilakukan dengan bertahap.

2. Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap al-muwaris menyebabkannya tidak dapat mewarisi hartanya. Demikian kesepakatan mayoritas (jumhur) ulama. Hal tersebut merupakan hal yang cukup beralasan, karena tidak menutup kemungkinan untuk menguasai harta seseorang membunuh orang lain. Karena motivasi yang tidak baik tersebut, maka terhadap orang yang membunuh tidak diperkenankan dan tidak berhak mewarisi harta peninggalannya.
Terhadap masalah ini, golongan khawarij, yang memisahkan diri dari Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, menentang pendapat ini. Alasan mereka, ayat-ayat al-Quran bersifat umum dan tidak mengecualikan si pembunuh. Karena ayat-ayat kewarisan hanya memberi petunjuk umum, sehingga keumuman ayat-ayat tersebut harus diamalkan.
Dalam hal ini mereka hanya mengacu pada keumuman ayat-ayat kewarisan. Padahal dalam hadis Nabi Muhammad SAW. adanya pengecualian terhadap pembunuh. Adapun dasar hukum yang dipergunakan oleh mayoritas (jumhur) ulama yang menyatakan pembunuh terhalang untuk mewarisi adalah;
a. Riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas :
Rasulullah SAW. bersabda : Barang siapa membunuh seseorang korban, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya. (Begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri. Maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan. (H.R. Ahmad).
b. Riwayat An-Nasai :
Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi. (H.R. An-Nasai).
Berdasarkan hadis-hadis tersebut, maka secara jelas dinyatakan pembunuh terhalang untuk mewarisi harta orang yang dibunuhnya. Hal tersebut, walaupun tidak ada ahli waris lain selain dirinya, ataupun yang dibunuhnya orang tua atau anaknya. Yang menjadi permasalahan adalah, mengingat banyaknya jenis dan macam pembunuhan. 

3. Berlainan Agama
Terhadap orang yang berlainan agama, maka hal tersebut dalam Islam menjadi penghalang mewarisi. Semisal seorang muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang beragama non Islam.
Adapun dasar hukumnya adalah hadis Rasulullah SAW. : Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam.
Kemudian hadis riwayat Ashab Al-Sunan (Imam Abu daud, Al-Tirmizi, Al-Nasai, dan Ibnu majah) :
Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda.
Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW. ketika membagikan harta warisan paman beliau, Abu Thalib, orang yang cukup berjasa dalam perjuangan nabi SAW. yang meninggal sebelum masuk Islam, oleh nabi harta warisannya hanya dibagikan kepada anak-anaknya yang masih kafoir, yaitu, ‘Uqail dan Talib. Sedangkan terhadap anak-anaknya yang sudah masuk Islam, yaitu Ali dan Ja’far, tidak diberi bagian.
Dalam hal ini terdapat permasalahan, yaitu apabila pewaris masuk Islam sesudah meninggalnya orang yang mewarisi, dan harta peninggalan (ketika ia masuk Islam) belum dibagikan. Ada beberapa pendapat sebagai berikut :
a.       Jumhur ulama tetap berpendapat terhalangnya orang tersebut untuk mewarisi hartanya. Karena yang menyebabkan timbulnya hak mewarisi adalah sejak (karena) kematian orang yang mewarisi, bukan saat dimulainya pembagian harta waris.
b.      Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, menyatakan bahwa pewaris tersebut tidak terhalang, dengan alas an predikat “berlainan agama’ sudah hilang sebelum pembagian harta warisan.
c.       Fuqaha aliran Imamiyah berpendapat sama dengan Ahmad bin Hanbal, tidak terhalang, karena harta peninggalan itu belum menjadi milik harta waris secara tetap, sebelum dibagi-bagikan kepada ahli waris.

F. AHLI WARIS
Ahli Waris ialah orang yang berhak menerima warisan, ditinjau jenisnya dapat dibagi dua, yaitu zawil furud dan ashobah.
Penggolongan ahli waris ahli waris ada dua jenis lelaki dan perempuan .
1. Ahli Waris lelaki terdiri dari.
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki sampai keatas dari garis anak laki-laki.
c. Ayah
d. Kakek sampai keatas garis ayah
e. Saudara laki-laki kandung
f. Saudara laki-laki seayah
g. Saudara laki-laki seibu
h. Anak laki-laki saudara kandung sampai kebawah.
i. Anak laki-laki saudara seayah sampai kebawah.
j. Paman kandung
k. Paman seayah
l. Anak paman kandung sampai kebawah.
m. Anak paman seayah sampai kebawah.
n. Suami
o. Laki-laki yang memerdekakan
2. Ahli Waris wanita terdiri dari
a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan sampai kebawah dari anak laki-laki.
c. Ibu
d. Nenek sampai keatas dari garis ibu
e. Nenek sampai keatas dari garis ayah
f. Saudara perempuan kandung
g. Saudara perempuan seayah
h. Yang Saudara perempuan seibu.
i. Isteri
j. Wanita yang memerdekakan
Ditinjau dari sudut pembagian, Ahli waris terbagi dua yaitu : Ashhabul furudh dan Ashobah.
1. Ashabul furudh yaitu orang yang mendapat bagian tertentu. Terdiri dari
a. Yang dapat bagian ½ harta.
o   Anak perempuan kalau sendiri
o   Cucu perempuan kalau sendiri
o   Saudara perempuan kandung kalau sendiri
o   Saudara perempuan seayah kalau sendiri
o   Suami
b. Yang mendapat bagian ¼ harta
o   Suami dengan anak atau cucu
o   Isteri atau beberapa kalau tidak ada (anak atau cucu)
c. Yang mendapat 1/8
o   Isteri atau beberapa isteri dengan anak atau cucu.
d. Yang mendapat 2/3
o   dua anak perempuan atau lebih
o   dua cucu perempuan atau lebih
o   dua saudara perempuan kandung atau lebih
o   dua saudara perempuan seayah atau lebih
e. Yang mendapat 1/3
o   Ibu jika tidak ada anak, cucu dari grs anak laki-laki, dua saudara kandung/seayah atau seibu.
o   Dua atau lebih anak ibu baik laki-laki atau perempuan
f. Yang mendapat 1/6
o   Ibu bersama anak lk, cucu lk atau dua atau lebih saudara perempuan kandung atau perempuan seibu.
o   Nenek garis ibu jika tidak ada ibu dan terus keatas
o   Nenek garis ayah jika tidak ada ibu dan ayah terus keatas
o   Satu atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki bersama satu anak perempuan kandung
o   Satu atau lebih saudara perempuan seayah bersama satu saudara perempuan kandung.
o   Ayah bersama anak lk atau cucu lk
o   Kakek jika tidak ada ayah
o   Saudara seibu satu orang, baik laki-laki atau perempuan.
2. Ahli waris ashobah yaitu para ahli waris tidak mendapat bagian tertentu tetapi mereka dapat menghabiskan bagian sisa ashhabul furud. Ashobah terbagi tiga jenis yaitu ashabah binafsihi, ashobah bighairi dan ashobah menghabiskan bagian tertentu
a. Ashobah binafsihi adalah yang ashobah dengan sendirinya. Tertib ashobah binafsihi sebagai berikut:
o   Anak laki-laki
o   Cucu laki-laki dari anak laki-laki terus kebawah
o   Ayah
o   Kakek dari garis ayah keatas
o   Saudara laki-laki kandung
o   Saudara laki-laki seayah
o   Anak laki-laki saudara laki-laki kandung sampai kebawah
o   Anak laki-laki saudara laki-laki seayah sampai kebawah
o   Paman kandung
o   Paman seayah
o   Anak laki-laki paman kandung sampai kebawah
o   Anak laki-laki paman seayah sampai kebawah
o   Laki-laki yang memerdekakan yang meninggal
b. Ashobah dengan dengan saudaranya
o   Anak perempuan bersama anak laki-laki atau cucu laki.
o   Cucu perempuan bersama cucu laki-laki
o   Saudara perempkuan kandung bersama saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah.
o   Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
o   Menghabiskan bagian tertentu
o   Anak perempuan kandung satu orang bersama cucu perempuan satu atau lebih (2/3).
o   Saudara perempuan kandung bersama saudara perempuan seayah (2/3)

G. HAJIB DAN MAHJUB
1. Nenek dari garis ibu gugur haknya karena adanya ibu.
2. Nenek dari garis ayah gugur haknya karena adanya ayah dan ibu
3. Saudara seibu gugur haknya baik laki-laki ataupun perempuan oleh:
a. anak kandung laki/perempuan
b. cucu baik laki-laki/perempuan dari garis laki-laki
c. bapak
d. kakek
4. Saudara seayah baik laki-laki/perempuan gugur haknya oleh :
a. ayah
b. anak laki-laki kandung
c. cucu laki-laki dari garis laki-laki
d. Saudara laki-laki kandung
5. Saudara laki-laki/perempuan kandung gugur haknya oleh:
a. anak laki-laki
b. cucu laki-laki dari garis anak laki-laki
c. ayah
6. Jika semua ahli waris itu laki-laki yang dapat bagian ialah.
a. suami
b. ayah
c. anak laki-laki
7. Jika semua ahli waris itu semuanya perempuan dan ada semua, maka yang dapat warisan ialah:
a. Isteri
b. Anak perempuan
c. Cucu perempuan
d. Ibu
e. Saudara perempuan kandung
8. Urutan pembagian antara saudara laki-laki kandung/ saudara laki-laki seayah sampai kebawah dan urutan paman kandung / paman seayah sampai kebawah.
a. Saudara laki-laki kandung menggugurkan saudara seayah( L/P )
b. Saudara laki-laki seayah menggugurkan anak lk saudara kandung
c. Anak laki-laki saudara kandung menggugurkan anak lk saudara seayah
d. Anak laki-laki saudara seayah menggugurkan cucu lk saudara kandung.
e. Cucu laki-laki saudara kandung menggugurkan cucu lk saudara seayah dts
f. Cucu laki-laki saudara seayah menggugurkan Paman kandung
g. Paman kandung menggugurkan paman seayah
h. Paman seayah menggugurkan anak laki-laki paman kandung
i. Anak laki-laki paman kandung menggugurkan anak lk paman seayah
j. Anaklaki-laki paman seayah menggugurkan cucu lk paman kandung
k. Cucu laki-laki paman kandung menggugurkan cucu lk paman seayah.
l. demikian seterusnya.

Sumber:
1. Pendidikan Agama Islam, UNM, 2014
2. http://anakmudagarut.blogspot.com/2008/10/fiqih-mawaris.html